Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 23 Januari 2012

IPA dan IPS dalam Tulisan Fiksi


Oleh Suyatna Pamungkas

“Penulis yang baik adalah yang tahu ke mana arah jatuhnya benda yang dilemparkan vertikal ke atas, dan bisa menjelaskan kenapa itu bisa terjadi.” 

Dalam kuliahnya, Prof. Beny Hoed menyampaikan penggolongan ilmu-ilmu menjadi dua, yakni: IPA (Ilmu Pengetahuan Alam): menemukan hukum-hukum alam sbg sumber dari fenomena alam à erklären (menerangkan) àhukum-hukumnya tetap. IPB (Ilmu Pengetahuan Budaya): manusia sebagai “objek” dan “subjek” sekaligus à verstehen (memahami) àobjek memandang dunia. Di dalam IPB ini terkandung ilmu humaniora dan IPS. Ada dua kubu besar di sini, yakni yang bersifat idealistik dan yang bersifat materialistik. Ilmu-ilmu seperti filsafat, psikologi, antrolopogi, semiotika lebih bersifat idealistik, lebih pada usaha memahami (verstehen). Sementara ilmu-ilmu alamiah lebih bersifat materialistik, yakni menemukan hukum-hukum alam dari fenomena alam,  menerangkan (erklären) hukum-hukum alam yang bersifat tetap ini.

            Hingga tahun 2012 ini, di bangku SMA, agaknya masih milik “anak eksak”. Jurusan IPA masih lebih favorit kebanding jurusan IPS. Semua berlomba-lomba mendapat kursi di bangku IPA, dan malangnya, kelas IPS seolah menjadi “buangan” anak-anak IPA yang tidak mampu memenuhi prasyarat masuk IPA. Dalam sebuah survey kecil, saya sengaja memintakan pendapat anak SMA tentang pilihannya masuk sebuah jurusan pengkhususan di sekolahnya, dan didapatlah jawaban berikut ini:

            “Saya itu tidak pintar IPA mas, tapi jujur saya gengsi ketika harus nyemplung di kelas IPS, apalagi bahasa. Walau saya keteteran mengikuti materi di kelas IPA ini, namun saya senang karena saya anak IPA, bukan anak IPS apalagi bahasa.” (tutur Mae, seorang tiga SMA yang tak mau disebut nama asli dan asal sekolahnya)
           
            “Kalau saya sih ngikut kata mamah. Memang sudah lama sih Mas, mamah nyiapin saya supaya masuk ke IPA. Sehingga sudah sejak jauh hari lebih serius ke pelajaran IPA daripada ke pelajaran IPS.” (Giska, teman satu kelas Mae, mengungkapkan pendapatnya)
           
            “Kalau saya sih memang sejak kecil benci sama Matematika, Mas. Saya tumpul di hitung-menghitung, saya lebih suka menghafal atau membaca tulisan panjang. Itulah mengapa saya masuk IPS.” (di sisi lain, Hilda menambahkan)
            Mae dan Giska sama-sama di lingkungan akademisi yang baik. Ayah Mae seorang Dosen Biologi di PTN di kota Jogja, dan ibunya seorang guru di sebuah Madrasah Tsanawiyah. Sementara Giska, ayahnya adalah karyawan di perusahaan farmasi dan ibunya berprofesi sebagai guru SMA di kota Jogjakarta. Sementara si anak IPS, Hilda, kedua orang tuanya berprofesi sebagai wiraswasta, memiliki jasa tour n travel dan laundry.
           
            Inilah yang ingin saya tunjukkan, superioritas dan inferioritas ilmu. Semua dilatarbelakangi motif sama, dan agaknya bagi saya ini bukan sebuah motif yang bisa dipertanggungjawabkan dengan akal sehat, motif mencari pekerjaan dan peluang sukses di masa yang akan datang. Stereotip –ijinkanlah saya menyebut ini sebuah stereotip –yang terbentuk dari mentalitie mereka adalah “peluang menemukan pekerjaan anak IPA lebih baik dibanding anak IPS”. Akhirnyalah, peluang ini dikaitkan dengan masa depan seseorang. Idealnya, orang yang mudah menemukan pekerjaan maka korelasi logisnya adalah kesuksesan akan mudah diraihnya.
           
            Menilik survey kecil saya di daerah Jogja beberapa hari yang lalu, dapat saya simpulkan bahwa rupanya, hingga tahun 2012 ini IPA masih menjadi gengsi tersendiri. Masuk IPA adalah sebuah kebanggaan, walau harus dijalani dengan adanya unsur pemaksaan. Pemerkosaan terhadap keniatan, keinginan, skill, dan kemampuan dasar seseorang. Seperti kasus Mae dan Giska di atas tadi. Ada keterlibatan orang tua dalam penentuan pilihan mereka.
           
            Masuk kuliah pun sama. Mereka berebut passing grade yang tertinggi, memandang seolah-olah yang passing grade-nya tinggi adalah jurusan yang akan membawanya pada tangga kesuksesan tertinggi. Well, saya tidak menyalahkan apalagi men-judge jurusan eksak itu buruk, sebab terbukti sampai sekarang kita merasakan manfaatnya. Namun berada dalam wilayah tidak nyaman, memilih bidang keahlian tanpa minat, memaksakan mencari yang grade-nya tinggi, adalah kesalahan.
           
            Jika menengok beberapa masa ke belakang, maka ijinkanlah saya mengkotak-kotakkan profesi terfavorit ke dalam sebuah periodisasi. Pernah ada masa ketika dokter menjadi profesi paling favorit, sehinggalah fakultas kedokteran laris manis diserbu calon mahasiswa. Itu pernah, dan bahkan masih sampai sekarang. Serupa dengan profesi guru. Meski prestice tidak setinggi dokter, namun alasan mudanya mencari pekerjaan sehinggalah jurusan pendidikan juga favorit, dan semua berbondong-bondong menjadi guru. Sekitar tahun 2000 kita dihadapkan pada arus modernisasi yang super cepat, sehingga menimbulkan impak arus komunikasi begitu kencang, maka muncullah prodi favorit seperti teknologi informasi dan komunikasi. Semua yang berbau IT diserbu. Beberapa waktu terakhir muncul jurusan ilmu favorit baru, design. Dunia pun menjadi lebih berwarna-warni dengan kehadiran orang-orang design. Pertanyaan menggelitiknya, “kapan profesi menulis diminati sebagaimana minat terhadap profesi dokter, bidan, guru, pengacara, arsitektur, dan sebagainya?”
           
            Lulus sekolah, saya pun ingin kuliah di kedokteran, namun karena berbagai kendala akhirnya saya gagal. Satu frame yang ingin saya tekankan adalah, kita masih terbodohi dengan berkata: ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan sastra pada khususnya adalah ilmu yang teranaktirikan. Lagi-lagi saya juga masih berada pada frame bahwa eksak lebih baik dari sosial.  Melalui perenungan kali ini, saya ingin mengajak Kawan semua untuk melupakan sejenak dunia angka, mari bertamasya ke dunia warna-warni milik orang otak kanan, dunia fiksi.
           
            Oke, saya tidak akan bicara banyak tentang dunia akademisi. Pengkotak-kotakan seperti itu biarlah menjadi pekerjaan orang-orang manajemen pendidikan, atau expert pendidikan. Sengaja saya masuk ke dalam pembahasan menyoal IPA dan IPS untuk membuka mindset baru bahwa semua bidang keilmuan adalah sama baiknya. Semua bidang keilmuan memerlukan ahli dan akademisi untuk melakukan penelitian, menemukan sesuatu yang baru, merumuskan teori, dan mengembangkan bidang keilmuan itu untuk mencapai peradaban yang lebih maju.
           
            Lantas di mana IPA dan IPS dalam fiksi itu?

            Saat baru pertama menulis, sebagai mula-permulaan, adalah wajar ketika penulis berkutat pada wilayan aman, berkutat pada ranah pengalaman pribadi. Secara sederhana dapat saya katakan bahwa pada tahap ini penulis berusaha menggali segala kekayaan fiksi dalam dirinya, untuk kemudian direkonstruksi ulang menjadi cerita fiksi. Tidak mengapa, dan itu sah-sah saja. Semua memang selalu berubah, dan semua dalam rangka menuju kemapanan. Menjadi penulis juga harus melalui tahap-tahap tertentu, tidak bisa instan dan tiba-tiba menjadi penulis besar. Kecuali naba besar seperti Andrea Hirata, yang dengan karya perdananya, Laskar Pelangi, langsung menggebrak dunia kesusastraan.  
            Ada tahap menjadi penulis yang biasanya dilalui seseorang yang berproses menjadi penulis:
1.    Trial eror
2.    Pencarian personal brand
3.    Konsistensi
4.    Penguatan brand
5.    Eksplorasi dunia dalam berkarya
            Pada tahap trial-eror, penulis masih berkutat di masalah pribadi yang diceritakan ulang, menyoal sesuatu yang pribadi dan ingin ditunjukkan kepada khalayak. Pada tahap ini, penulis tidak dituntut menyertakan banyak referensi dalam tulisannya. Kepada peserta workshop penulisan, saya selalu menyampaikan penggolonagan penulis menjadi “novelis” dan “story teller” atau “pencerita” atau “tukang cerita”. (Penjelasan mengenai perbedaan antara novelis dan pencerita akan saya jelaskan pada materi penulisan berikutnya.) Jika harus memposisikan, saya selalu memposisikan penulis-penulis ini dalam satu pengkategorian “pencerita”. Mereka menceritakan tokoh dengan alat bantu lima unsur intrinsik lainnya, dan sesekali unsur ekstrinsik ikut menunjang penguatan namun dalam porsi yang tidak terlalu signifikan.  
            Ketika penulis telah memasuki tahap ke-empat, yakni penguatan brand, penulis akan memasukkan unsur-unsur ekstrinsik secara lebih mendalam. Ini bukan berarti pada tahap pertama, yakni trial-eror, penulis tidak memasukkan unsur ini. Hanya saja kapasitasnya masih terbatas, dan penyertaan unsur ini belum dianggap sesuatu yang frontal. Pada tahap matang, yakni penguatan brand penulis, penulis mulai mementingkan unsur ini. Cerita dipondasi dengan unsur intrinsik, dikuatkan dengan unsur eksrinsik. Unsur ekstrinsik ini bisa menyangkut religi, sosiologi, hukum, ekonomi, astronomi, astrologi, antropologi, humaniora, dan sebagainya. Dan tentu saja ini terjadi pada tahap yang terakhir, yakni ketika penulis berada pada tahap pengekspolarasian dunia melalui karya. Unsur intrinsik yang dalam tahap trial-eror menjadi unsur yang frontal, menjadi unsur sarana pengungkapan semata, dan lebih menonjolkan unsur ekstrinsiknya.

            Nah, di sinilah menariknya menjadi penulis.

            Saat duduk di bangku kuliah, saya mendapatkan materi kuliah Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial Dasar. Saya menganggapnya sebagai pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial di bangku SD waktu dulu. Awalnya saya mengikuti materi kuliah ini hanya karena alasan kewajiban saja, tuntutan lulus dari sebuah beban paket mata kuliah. Tak ada yang menarik dari mata kuliah ini.
           
            Namun setelah saya menjalani sebuah proses menjadi penulis saya merasakan sekali pentingnya saya mengikuti dua mata kuliah ini, sebuah mata kuliah wajib di Fakultas Ilmu Budaya. Tepatnya ketika saya membaca ulang cerita yang sudah saya tulis, dan saya merasa tidak menemukan power dalam tulisan-tulisan saya. Pada suatu ketika, saya tersadarkan pentingnya IPA dan IPS ini. Ceritanya, kala itu saya sedang menulis tentang seorang dokter (rupa-rupanya saya memang kepincut profesi mentereng ini, tapi tidak kesampaian. Hiks hiks hiks) yang mengobati kelainan jantung bawaan pada anak-anak. Saya membaca, mencari tahu dari berbagai sumber bacaan seperti apa kelainan jantung bawaan pada anak-anak itu? Dari berbagai sumber bacaan itu saya mendapati beberapa istilah dan membuat dialog begini misalnya,
            “VSD. Ventrical Septal Defect. Ini berakibat darah yang membawa sari-sari makanan justru masuk ke dalam paru-paru dan bercampur dengan darah kotor. Akibatnya, pertumbuhan menjadi lambat, kemudian juga paru-paru menjadi ekstra dalam bekerjanya, sehingga ini berpengaruh terhadap imunitas atau kekebalan tubuh si anak, anak jadi mudah terserang penyakit…” kata Dokter.
            Adalah “tidak lucu” jika kita, penulis, hanya menyebutkan dengan begitu simple-nya lantas lari dari penjelasan ilmiah untuk menguatkan pernyataan dalam cerita sehingga pembaca mampu menggambarkan cerita yang kita bangun secara holistis sempurna. Andai saya tidak membaca lagi buku ilmu kedokteran, barangkali dalam tulisan saya tidak akan berbunyi seperti petikan dialog di atas namun misalkan akan berbunyi begini, “anak ini terkena kelainan jantung, dan harus dioperasi.” Titik. Saya tidak akan menjelaskan apa itu VSD, darah kotor, imunitas, dan istilah medis lainnya.
            Andrea Hirata tidak mungkin menuliskan bahwa di sekitar sekolah Laskar Pelangi-nya tumbuh tanaman felycium andai Andrea tidak membaca dan tahu ilmu IPA. Bisa jadi Andrea mengosongkan deskripsi di sana tanpa menyertakan nama latin tumbuhan ini. Tentu saja ini akan mengurangi estetika cerita yang dibangun dan penguatan brand Andrea Hirata sebagai penulis novel scientist.
            Paragraf pembuka novel “Sang Pemimpi” pun demikian, semata bisa tercipta karena Andrea menguasai ilmu-ilmu IPA. Berikut saya kutipkan:
Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku
terkurung, terperangkap, mati kutu. (Andrea Hirata dalam “Sang Pemimpi” halaman 01)
           
            Atau sebuah pelajaran IPS dari tulisan saya tersebutkan demikian:
           
            Benar sekali, bahwa sekumpulan manusia yang berkumpul dalam wilayah teritori akan melakukan interaksi dan saling bergantung. Sekumpulan itu lalu dipimpin oleh satu atau beberapa orang menggunakan seperangkat atur-aturan, demi menertibkan. Keadaan itu akan lama berlangsung. Terciptalah kebudayaan dari sana. Lama bertahan dalam ritme seperti itu. Meski tak terlihat, kehidupan sekumpulan manusia itu sejatinya sangat dinamis. Mereka berubah dan berkembang. Namun jika kehidupan bagai penjara bodoh, bagai tatanan yang mengultuskan nilai-nilai kesialan seperti jamannya jahiliah sebelum Islam datang, maka segalanya harus diubah. Struktur kemasyaraktan itu tak statis. Seperti pendapat Giddens, sebuah struktur juga mempunyai kemampuan untuk “enabling”, bukan hanya membatasi unsur-unsur di dalamnya. Struktur masyarakat kami kurang lebih sama dengan jahiliahnya sebelum nabi Muhammad, meski tak sebegitu parah memang. Sebagaimana struktur itu enabling, kami –atau aku akan mengusahakan tepatnya –akan berubah. Aku sangat menginginkan penduduk kami bebas buta huruf, bebas buta akidah, bebas buta Al Quran, bebas buta Islam. Tak mudah memang. Ibarat benang kusut, aku, atau empat berkawan tepatnya, harus mendirikan tegak benang kusut itu. Dengan apa empat berkawan akan melakukannya? Pertama tentu dengan niat dan keyakinan. Duh Gusti, mudahkanlah jalan kami memuliakan ajaran-Mu. Amin…     
            Aku tak dapat pejam untuk tidur, badanku pegal-pegal seperti segala perekat dalam sendiku terpental satu-satu. Sampai sesubuh begini aku masih memikirkannya. Empat berkawan dan bedol desa. Aku terlalu menggelisahkan transmigrasi bedol desa yang akan memangkas kebersamaan empat berkawan. Semalaman aku memikirkan nasib kami: empat berkawan dan Bayur dengan kejahiliahannya. Hingga adzan subuh di kejauhan mememanggilku aku masih belum juga memejamkan mataku ini. Semua seperti menjadi kesia-siaan. Sebentar lagi persatuan empat berkawan hanya tinggal nama. Percuma saja pekan lalu memenangi lomba penulisan dongeng, dan sebentar lagi akan maju ke tingkat provinsi, mewakili kabupaten Banyumas. (Suyatna Pamungkas dalam “Anak Negeri”, halaman 71)

Berbagai istilah asing muncul dari tulisan Andrea Hirata, begitupun dalam tulisan saya, dalam tulisan Pramoedya Ananta Toer, dalam tulisan Ahmad Tohari, dan semua penulis yang berusaha membangun kesatuan cerita yang  istana sentris, dan bernilai estetika tinggi.

Ini penting untuk dilakukan terutama mereka yang telah atau sedang dalam tahap penguatan brand, sebab jika membenarkan bahwa penulis adalah “tuhan setelah Tuhan” maka penulis harus mengetahui berbagai aspek dalam penulisannya. Tujuannya mulia, yakni untuk menuntun pembaca agar dapat serasa hadir di dalamnya. Pembaca akan merasa terntuntun dengan adanya deskripsi yang gamblang dan tuntas. Namun begitu, jangan sampai penulis larut dalam penjelasan deskripsi sehingga bukan dia membuat pembaca mengerti namun sebaliknya, bingung memahami. Penulis yang baik adalah yang mampu menjelaskan kepada pembaca dengan tuntas tapi mudah dimengerti, sedang penulis yang buruk akan membuat pembaca kelelahan membaca deskripsi panjang yang tidak mengandung makna tuntas.
Inilah ilmu IPA, kegunaan ilmu IPA dalam fiksi.
Nah, untuk menulis dengan tuntas itu maka ilmu menulis yang saya cetuskan pada kesempatan kali ini berbunyi: bahwa penulis juga harus menguasai Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial Dasar. Bahwa penulis yang baik adalah yang menguasai paling tidak Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial Dasar.




0 komentar:

Posting Komentar