Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 02 Januari 2012

Jomblonis Ironistis


Oleh: Tha Artha  


Mata Alex melotot. Gak henti-hentinya dia memandang body aduhai yang baru saja lewat di hadapannya.
                "Ckck... Aje gile tuh cewek, body-nya men!" ujarnya. Bola matanya mengekor setiap langkah sang cewek menawan.
                "Huss... Dosa! Itu dah punya orang, lu gak boleh ikut menikmati." Tio yang lagi nelen biji kacang, lalu menutup kedua mata sohibnya dengan telapak tangannya. Yaiyalah, jangan sampe kulit kacang juga ketelen, bisa masuk rumah sakit ntar.
                Dengan segera Alex menjauhkan tangan Tio dari wajahnya. "Apaan sih? Gak bisa liat orang seneng."
                "Ah, elu bisanya ngeliat doang. Kenalan dong!"
                Alex lalu terdiam. Selama ini dia emang gak pernah lagi berani kenalan sama cewek sejak ditolak sama Rosa. Bukan hanya itu, harga dirinya sebagai cowok cool juga udah diinjek-injek. Sebabnya, cewek incerannya sejak masih pake seragam merah-putih itu memajang surat cintanya di Mading SMP, dua tahun lalu. Sejak itulah, cowok rambut cepak ini udah gak berani lagi deket-deket kaum Hawa. Ngobrol dengan merekapun udah cukup bikin Alex keringetan. Ia hanya berani memandang, mengagumi, dan berkhayal. Parah!
                "Lebay, lu. Ngapain juga takut sama cewek? Lebih serem macan ketimbang cewek, tau!" Tio menepuk bahu sohibnya. Ketua OSIS inipun lalu melanjutkan kata-katanya, "Tenang sob, gua bantu 'nyembuhin' lu. Okey?"
                Tawaran emas itu gak langsung dijawab sama Alex. Ia berpikir lamaaa... Lamaaa banget. Sampe Tio jengah dan meninggalkannya sendiri.
***
                Saat jam istirahat, Tio ngajak Alex nongkrong di kantin sekolah. Setelah memesan dua mangkuk bakso dan dua gelas es teh manis, Tio memulai perannya sebagai terapis.
                "Elu sebagai cowok kudu punya modal. Minimal, modal pede buat sekedar tanya nama cewek yang lu taksir. Dari jaman nenek moyang kita, wanita selalu dijajah pria, jadi lu gak perlu takut dengan makhluk yang satu itu."
                Alex hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil mencomot baksonya.            
                "Sekarang, lu lihat dia," Tio menunjuk seorang cewek berambut sebahu yang sedang duduk sendiri di pojok kantin. "Itu si Rene, adik kelas kita yang paling yahud. Coba kamu dekati mejanya dan kenalan. Sana!"
                Kunyahan bakso yang hampir masuk ke kerongkongan, tiba-tiba keluar dengat sendirinya. Alex tercekat. Dengan segera diminumnya segelas es teh sampai habis. Setelah itu, dipandangnya sahabat yang juga terapisnya dengan tatapan memohon keringanan, namun Tio berkeras tak mengubah titahnya.
                "Ini hal yang paling gampang, bro. Lu tinggal sapa dia, ulurin tangan, sebutin nama lu dan tanya nama dia. Beres!" Pikiran Alex semakin kalut saat mendengarnya. "Atau lu mau penyakit Jomblonis Ironistismu makin parah dan jadi banci setelah ini?"
                Dikatai seperti itu, gemuruh emosi Alex membesar. Dengan segera dia berdiri dan berjalan menuju meja Rene. Namun cara jalannya aneh, kaku seperti robot.
                "Hh...Hai," dia mencoba mengeluarkan suara tergagahnya. Sial, kerja pita suaranya gemetar tak karuan hingga keluarlah suara parau. "Gue Alex. Kalau nama lu siapa?" tangan kanannya lalu terulur perlahan. Alex kemudian menelan ludah dan memejamkan matanya.
                Gayung bersambut. Uluran tangannya balas dijabat. Tapi, tunggu dulu! Alex merasakan sebuah tangan kasar yang menggoyang jabatan tangannya, bukan tangan mungil nan halus mulus yang seharusnya menjadi milik Rene.
                "Gua Anton," suara berat itu kemudian membuat Alex lekas membuka matanya. Ia terkejut saat melihat sosok kakak kelas di hadapannya. "Dan ini cewek gua. Lo jangan macem-macem!"
                Muka garang di hadapannya menyiutkan nyali. Alex cengingisan salting, hatinya ketar-ketir membayangkan resiko bonyok sepulang sekolah.
                "Ampun, bang. Kesalahan teknis!" diapun lalu ngancir menuju halaman sekolah.
                Tio kemudian menyusul sahabatnya. Ia tertawa sambil mengacak-acak rambut Alex.
                "Gue salut ma lu, bro!" Diacungkannya dua jempol. Tak puas, dibukanya pula sepatu di kaki kanan, melepas kaos kaki, mengangkat telapak kakinya setara dua jempolnya, dan menggerak-gerakkan jempol kaki baunya. "Berarti lu masih ada harapan. Muka jelek Anton aja laku, apalagi elu, sahabat gue yang kece?"
                "Uhff..." serta-merta Alex menutup kedua lubang hidungnya. "Geblek! Bau, tau!"
***
                Esoknya, pelajaran pertama sudah Alex praktekkan dengan baik. Walau dengan bercucuran keringat, cowok bertubuh tinggi tegap itu berhasil berkenalan langsung dengan tiga adik kelasnya. Yang paling menarik adalah Sasa, siswi kelas X-4. Tutur kata dan pembawaannya yang kalem, sukses merebut hati Alex. Dengan berani, dia lalu mengajak Sasa jalan bareng pada nanti malam. Si gadis manis berkuncir itupun menjawab dengan senyuman manis yang langsung melemahkan kerja sistem otak Alex.
                Hatinya benar-benar senang, namun kalang-kabut. Sekedar berkeliling kota sih oke, tapi nantinya disela dengan obrolan apa? Alex sadar dengan kemampuan lingualnya yang pas-pasan. Merayu nyokap untuk menambah uang jajannya saja gagal, bagaimana caranya merayu cewek buat dijadikan pacar? Di kala panik melanda, Alex segera menghubungi terapisnya.
                "Dimulai dengan obrolan santai aja. Ceritain aja sapa diri lu, keluarga, hobi, aktivitas, apapun lah. Saling mengenal dulu, istilahnya pedekate gitu," Tio dengan baiknya membagi tips & trick tentang cewek sekali lagi. "Jangan asal langsung nembak, yang ada malah ilfil jadinya."
                Alex menganguk-anguk. Ia lalu merancang cerita apa saja yang nantinya akan dia bagi bersama Sasa. Simple, menarik, dan jangan sampai membuat jenuh. Karena jikalau gadis itu sampai mengantuk karena bosan, Alex tak kan sanggup membopong tubuhnya sampai rumah orang tua Sasa. Selain itu, beragam pertanyaan juga telah disiapkan. Pertanyaan singkat tanpa kesan mengintrogasi.
                Setelah bekal percakapan dirasa cukup, sore harinya Alex memeriksa persediaan pakaian di lemarinya. Malam nanti, dia harus bisa tampil mengesankan di hadapan Sasa. Walau nanti belum dapat dikatakan kencan pertama, Alex yang memukau dapat memperoleh nilai lebih di mata Sasa. Maka, dipilihlah kemeja merah bergaris hitam yang dipadupadankan dengan jins birunya. Mantap!
***
                Hari demi hari berlalu. Proses pedekate Alex berjalan sempurna. Hatinya sudah benar-benar terpikat pada Sasa, dan kini dia tak lagi gemetaran bila berada di dekat wanita. Program terapi dari Tio sukses besar. Kemungkinan, Tio bisa membuka bisnis "Penyembuh Trauma pada Wanita" setelah ini.
                Tepat pada hari ulang tahun Sasa, Alex memberikan kado berupa kalung cantik berliontin AS. Seusai sesi tiup lilin, Alex nekad nembak gadis manis itu di depan umum. Sorak-sorai dari tamu undangan sempat membuatnya gugup, namun kini Alex mampu mengendalikan perasaannya. Sasa yang mengenakan dress putih seperti peri, terpana melihat cowok cepak itu berlutut dihadapannya. Dan akhirnya, mereka resmi jadian.
                "Gue makin salut sama elu, bro," ujar Tio sepulangnya mereka dari pesta semalamnya Putri Sasa. "Gak nyangka, ternyata elu lebih berani ketimbang gue."
                Alex menyerngitkan dahinya, mencerna tiap kata yang terucap dari bibir sahabatnya. "Maksud lu?"
                "Yah..." Tio terlihat ragu-ragu melanjutkan perkataannya. "Gue sebenarnya juga pengidap Jomblonis Ironistis." Mata Alex terbelalak tak percaya. Tio melanjutkan, "Sama kayak lu, gue juga pernah ditolak cewek. Gak cuma sekali, tapi berulang kali. Terakhir, setahun yang lalu. Pelampiasannya, gue sibukin diri aja di OSIS. Gue kapok nembak-nembak lagi."
                "Tapi lu bisa terapin apa yang elu bilang ke gue."
                "Haha..." tawa Tio tiba-tiba meledak. "Gue rasa, hidup gue dah indah. Walau gue jomblo, tapi gue masih punya banyak temen. Dan elu, temen baik gue yang paling sip! Keren! Gak nyangka akhirnya nasib buruk lu berakhir juga."
                Alex hanya tersenyum melihat raut wajah sahabatnya. Pantas saja dia begitu bersemangat membantunya, ternyata Tio juga pengidap penyakit yang sama. Kini dia telah sembuh dan berniat menyembuhkan sang Ketua OSIS pula. Dapatkah?
***

                Dua bulan telah berlalu. Biasanya, masa pacaran yang seumur jagung begini adalah masa terindah. Selain dapat lebih saling mengenal, cinta yang mampu merubah tahi kucing berasa coklatpun semakin manis dikecap. Namun nyatanya, hukum alam itu tak berlaku pada Alex. Ia telah memutuskan hubungannya dengan Sasa semalam.
                "Lho?"
                "Gue eneg!" Alex mendengus kesal. "Bayangin, gue berasa jadi kacung ketimbang cowoknya. Minta anter ke mana-mana gak peduli waktu. Emangnya gue hidup sendirian, apa? Gue juga masih punya nyokap yang mesti dianter ke pasar biar gue bisa makan masakannya. Lah, ini malah dilarang dan kudu nganterin dia ke salon, alamat gue haram makan di rumah. Belum lagi, gue kudu bayarin biaya di salon, segunung belanjaan dia di mall dan berbagai sogokan untuk kedua orang tuanya biar dibolehin bawa anaknya jalan. Bangkrut mental-fisik, gue!"
                Tio geleng-geleng kepala mendengar kisah sahabatnya. Sebelumnya dia tak menyangka jika punya cewek itu ribet. Kemauan mereka, kaum Hawa, memang banyak dan aneh-aneh. Harus pintar mengakali mereka agar hatinya senang selalu sehingga berdampak pada wajah yang menarik dipandang pula. Tio membayangkan wajah Sasa yang ngambek jika keinginannya tak dituruti sahabatnya. Ih, pasti seram! Siapa yang kuat menatap raut wajah wanita saat ngambek
                "Jadi jomblo ternyata lebih enak, bebas!" Tio lalu merangkul Alex yang berwajah lecek. "Tapi jangan Jomblonis Ironistis, bro. Kita harus mengisi masa muda kita sebaik-baiknya. Masa indah ini tak kan terulang lagi. Cewek? Nanti saja. Kalau kita dah jadi sukses, pasti mereka mendekat dengan sendirinya. Yakinlah itu!"
                Alex mendongakkan kepala, menatap senyum Tio. Ia kemudian ikut menyunggingkan senyum di wajahnya. Ya, Alex sadar, dirinya masih muda. Tak sepatutnya lemas tak bergairah hidup hanya karena wanita. Bersama Tio sahabatnya, diapun memulai aktivitasnya kembali, pelajar SMA yang berbakat

0 komentar:

Posting Komentar