Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Selasa, 03 Januari 2012

Dibatas Senja


Oleh: Nita Inara
    
 15 Maret-2010
 Langit cerah ketika aku sedang berjalan-jalan dengan sahabatku. Nina tampak bahagia, begitu juga dengan aku lebih cerah lagi senyumku dibanding yang lain. Sampai peristiwa itu terjadi, saat sebuah mobil melaju kencang dan menabrakku sehingga semuanya berubah, begitu juga dengan senyumku... yang berubah menjadi kesedihan yang menerpaku. Semenjak itu aku meminta untuk mengurung diri dari duniaku, aku menjadi terasing dan aku mengurung diri dalam kesendirianku. Hampa. Hanya hampa yang menemaniku saat ini.
 
 ***
 12-April-2010
 “Non Dewi, sudah waktunya makan siang.” Ucap pembantuku membuyarkan lamunanku, aku mengingat semua hal yang terjadi pada masa lalu. Aku menangis dalam diam, tak bisa bicara karena aku telah menjadi wanita bisu sejak itu. Aku ingin marah, tapi pada siapa, aku ingin berubah dan ingin dimengerti tapi siapa yang akan mengerti keadaanku saat ini. Aku hanya mengangguk setelah mendengarkan suara pembantuku berbicara. Setelah itu aku ke meja makan tanpa teman. Inilah pilihan hidup yang aku inginkan sejak peristiwa tragis itu menghanyutkan mimpiku.
 Jember menjadi kota tujuanku untuk hidup menyendiri, kali ini aku berjalan di pantai Watu Ulo, duduk diam sendirian dan selalu sendiri dikala senja mulai menampakkan warna jingganya.
 “Sendirian?” suara lelaki di sampingku mengagetkan aku, dia tak tahu apa yang sedang aku pikirkan saat ini. Betapa aku ingin dimengerti dan betapa hatiku hancur karena masa lalu dan dia tak tahu tentang aku.
 “Sendiri.” Aku menulis pada sebuah kertas. Ya, aku selalu ditemani oleh kertas dan pena dalam hidupku. Aku adalah wanita sukses diumur 25 tahun ini dalam hal karier dan segalanya tapi belum sempat merasakan indahnya cinta.
 “Terkadang masa depan kita hari ini tak sesuai dengan keinginan kita. Tapi terima saja dengan bijak, mungkin inilah jalan terbaik itu. Tuhan selalu punya kejutan,” ujar lelaki yang belum beberapa menit aku mengenalnya, bahkan belum sempat berkenalan dengannya.
 “Namaku Dimas, aku ke sini untuk memastikan keadaan ibuku. Sebenarnya aku bertempat tinggal di Jakarta, kau pasti sedih sekali dengan keadaanmu, aku yakin kau kuat menjalani hidup ini.” Jelasnya dan membuat aku mampu menerima keadaanku. Aku benar-benar sadar bahwa hidup ini penuh dengan masalah, tidak hanya bersenang-senang. Mungkin hanya waktu itu aku bahagia dan sekarang saatnya kesedihan bersamaku.
 “Dewi.” Lagi-lagi aku menuliskan dalam sebuah kertas. Aku mampu memandang dunia, aku mampu merasakan nikmatnya hidup ini tapi aku tak mampu berbicara. Aku wanita cacat.
 “Dewi, aku pergi dulu. Sampai jumpa lagi. Semoga senja akan mempertemukan kita nanti.” Pamitnya padaku, aku sungguh merasa nyaman bersamanya. Tapi secepat itu dia pergi  dan meninggalkan aku dalam kesedihan.
 Sejak pertemuan pertamaku dengan Dimas, aku mulai suka duduk sendirian di Pantai Watu Ulo dan, aku menyukai senja, aku menunggunya dengan penuh harap kedatangannya. Aku memikirkannya pada pandangan pertama.. aku seperti terbius oleh kata-kata indahnya.
 
 ***
 Satu bulan telah berlalu sejak kedatangan lelaki misterius itu. Dimas tak datang lagi. Aku semakin merasa sendiri. Siapa yang akan mengajakku bicara, hampir tak ada yang menemaniku, aku membutuhkannya saat ini. Kembali aku datang ke tempat yang sama, duduk di tempat yang memberi kesejukan seperti waktu itu.
 “Boleh aku duduk di sampingmu?” suara itu lagi yang hadir, aku semakin ingin tahu kapan jadwal Dimas ke Jember, aku semakin suka mendengarkan suaranya, dan aku punya rasa yang berbeda padanya. Rasa yang tak mampu terjelaskan, rasa yang datang dengan keindahan dan rasa yang menyerangku akhir-akhir ini.
 
 “Dew, sebulan yang lalu aku kembali ke Jakarta untuk sebuah urusan. Ibuku sakit disini, tapi ada seorang Ayah yang menungguku di Jakarta,” aku terdiam, tak mampu menuliskan sebuah kata. Aku memang tak perlukan pengakuannya, aku hanya butuh dia ada. Aku ingin mendengarkan suaranya yang membuat aku tersenyum bahagia.
 “Dew, senja telah beranjak dan berganti malam yang gelap. Boleh aku pergi?” pamitnya padaku. Kenapa dia selalu datang dan pergi. Padahal aku ingin sekali dia tinggal di kota kecil ini. Sejak aku cacat aku ingin tinggal di kota ini dan jauh dari teman-temanku. Peristiwa waktu itu cukup membuatku tak bisa kembali ke Jakarta. Aku sudah muak dengan teman-temanku yang datang ketika bahagia, tetapi ketika aku mengalami musibah ini mereka menghindar. Tak ada lagi yang mengenalku, tak ada yang memanggilku bahkan pacarku sekarang entah kemana.
 Aku memandangi punggung Dimas yang telah pergi meninggalkanku dalam kesendirian, dalam penantian yang tak berujung karena dia tak tahu perasaanku. Aku harus bagaimana. Aku ingin bicara dengannya, aku ingin dia tahu tentang rasa yang melekat dalam jiwa, aku ingin menghambur ke dalam pelukannya dan mengatakan rindu padanya. Semua itu tak akan terkatakan, kata itu hanya akan tersimpan dalam hati yang terdalam.
 
 ***
 Kembali aku menunggunya, sampai senja hilang dan kegelapan menerjang langit malam. Sampai aku lelah dalam penantian. Entah sampai kapan rasa ini akan memainkan hatiku. Dulu aku adalah seorang direktur utama majalah fashion di Jakarta, hampir semua orang segan padaku, menghormati profesiku karena diumur yang terbilang muda aku mampu mendirikan majalah fashion dan digemari oleh wanita muda seusiaku. Aku tak pernah gagal dalam bisnis, aku mampu mengasuh anak buah dengan baik dan aku adalah direktur handal. Tapi, aku sekarang adalah wanita lemah. sampai kapan aku akan duduk di sini dalam penantian yang tak pasti. Aku putuskan untuk menuliskan sebuah surat yang berisi puisi ungkapan hati untuknya. Dan aku berharap dia menemukan suarat itu.
 
 
 Untuk lelaki senja
 Lelaki senjaku
 Kapan kau akan datang temaniku
 Menghiasi senyum di bibir merahku
 Memenuhi hati kosongku
 Dan membuat warna dalam hidupku
 Aku memanggil Dimas dengan lelaki senja, karena dia adalah warna senja yang menghiasi hatiku dengan suara merdunya dan sejuknya kata-katanya. Gelap telah kembali menguasai malam, aku harus kembali ke rumah kecilku. Aku ingin kembali ke jakarta meski aku tak mampu bicara tapi aku mampu menulis, aku mampu meng-handle perusahaan yang aku dirikan setahun yang lalu.
 
 ***
 Sudah bulan keberapa sejak surat itu kutitipkan pada langit malam, awan hitam dan hujan. Aku kembali untuk melihat apakah ada balasan darinya, aku sangat berharap dia punya rasa yang sama dan harapan yang sama denganku. Ingin membahagiakan satu sama lain dan bersatu sampai ujung waktu. Aku melihat sebuah surat dalam tempat yang tertutup rapat, mungkinkah dia membalas suratku. Aku membukanya dengan gugup dan ada desiran indah yang menemaniku.
 Kepada sinar rembulan
 Sebenarnya kristal air matamu tak pantas kau jatuhkan
 Senyummu lebih indah daripada sebuah kesedihan
 Sinar rembulan lebih pantas bersinar terang diantara sekian bintang
 Karena kaulah yang menerangi langit yang kegelapan
 
 
 Aku bahagia melihat surat itu, aku tak akan kembali ke jakarta sebelum bertemu dia dan mengatakan tentang perasaanku padanya. Aku ingin tetap di sini dan menunggunya.
 Kapan Dimas akan datang ungkapku dalam hati diantara angin malam yang menandakan bahwa aku harus meninggalkan tempat ini. penantian ini yang membuat aku semakin tidak tahu harus bagaimana, aku tak tahu apakah Dimas juga punya rasa yang sama. Mungkinkah dia akan menerima aku dalam keadaan seperti ini. semua ini sangat sulit buat aku.
 
 ***
 Entah sudah berapa kalinya aku di pantai ini, aku seakan tak lelah menunggunya. Aku berharap dia akan datang dan menyampaikan sesuatu padaku.
 “Dew, berapa kali kau akan datang ke pantai ini?” suara lantang Dimas mengejutkanku, membuat aku tak mampu memandangnya.
 “Sampai aku menemukan kesejukan dalam hidupku.” Tulisku dalam sebuah kertas yang aku persiapkan dan Dimas akan dengan sigap mengambilnya dari tanganku. Hal yang selalu menarik menurut Dimas adalah memungut dan membaca kertas jawaban atas pertanyaanya.
 “Dew, aku sudah bertunangan kemarin, tepat setelah aku mendapat puisimu. Aku tak mampu menolak tunanganku karena dia adalah orang yang pertama masuk dalam ruang hatiku. Aku mencintainya, Dew. Tapi aku juga mencintaimu sejak mengenalmu.” Penjelasan Dimas membuat kristal air mataku mencair, membanjiri wajahku dan aku hanyut dalam kesedihan.
 “Dew, maafkan aku. Kau memang menjadi sinar rembulan yang menyinari kedalaman hatiku saat ini, tapi aku tak mampu melakukan apa-apa selain mengorbankan hatimu. Jika aku mengorbankan cinta pertamaku itu adalah hal yang lebih berat.” Jelas Dimas semakin membuatku kalut. Aku tak ingin kehilangan dia.
 “Dew, aku akan berdo’a untukmu. Semoga ada lelaki senja yang mampu memberikan cinta tulus untukmu. Aku yakin suatu saat pasti ada yang akan melihatmu. Kau tidak hanya cantik tapi kau memiliki ketulusan yang tak pantas dilukai.” Aku sudah tak mampu mendengarkan suaranya. Tapi aku tahu dia juga tulus mencintaiku.
 “Dew, maafkan aku.” Untuk terakhir kalinya dia mngucapkan maaf dan mencium keningku.
 “Dew, kau tak ingin menulis sesuatu? Aku masih menunggumu dan ingin menbaca puisimu meski sebentar saja,” seketika penaku berjalan diantara kertas putih yang kupegang, diaryku memasang warna kesedihan yang mendalam dan aku ingin membuat semua ini berakhir, mungkin Dimas mengajakku bermain puisi untuk meredakan kesedihan yang kurasakan.
 Senjaku
 Terimakasih telah bersamaku
 Jika aku boleh meminta padamu
 Temani aku setiap senja menyapaku
 Hiasi senyumku dengan kata-kata manismu
 Penaku telah berhenti dan dengan sigap tangan Dimas meraih diaryku, menarik pena dari tanganku dan membacanya dengan takjub. Dia seperti pangeran yang hanya dikirim khusus untukku, tapi bagaimana mungkin dia menjadi pangeranku kalau masih ada putri cantik yang menunggunya dalam istana penuh cinta.
 “Dew, aku ingin bermain puisi denganmu, boleh kan?” tanya Dimas yang seketika kujawab dengan anggukan. Aku melihat tangannuya mulai lincah memainkan pena dan membaut aku tak sabar ingin melihat hasil karyanya.
 Senyum manis dewiku
 Dewiku, cukuplah kesedihanmu
 Jangan kau larut dalam kesedihanmu
 Masih ada hari esok menunggumu
 Dengan seorang pangeran menemanimu
 Yang menghiasi ruang kosongmu
 
 Dimas sudah selesai menulisnya dan sudah berada ditanganku, tapi mendengar bisikannya air mataku kembali deras, bagaikan hujan yang tak mampu dikendalikan dan aku larut dalam kesedihan yang mendalam.
 “Dew, aku harus pergi.” Bisiknya yang membuat aku meneteskan rinai air mataku.
 Dimas telah pergi membawa puisi cinta yang kutuliskan untuknya, apakah mungkin suatu saat Dimas akan kembali dengan balasan puisinya yang membuat aku semakin jatuh cinta dan menginginkannya. Punggungnya masih terlihat dan suaraku tetap tak bisa keluar, aku ingin Dimas mendengarkan suaraku dan mengehentikan langkahnya untuk memelukku
 “Dim...Dim..., Dimaaaaas!” teriakku dan usahaku untuk bersuara telah membuat Dimas menoleh kepadaku, dia benar-benar kembali. Entah dengan tujuan apa dan untuk apa. Apakah dia masih ingin memberikan pelukan terakhirnya.
 “Dimas, jangan pergi.” Aku kembali berbicara diantara tangisanku.
 “Dew, kau bisa bersuara lagi. Aku tahu kau bukan wanita lemah.” ucapnya sambil memelukku.
 “Aku mencintaimu.” Ungkapku dan membuat pelukan Dimas semakin erat. Aku tak tahu apa yang dipikirkan olehnya. Apakah dia akan meneruskan langkahnya dan kembali pada tunangannya atau memilihku.
 
 THE END

0 komentar:

Posting Komentar