Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Rabu, 04 Januari 2012

Manusia Setengah Hari


 
 Oleh: Runy Ginevla
 
 Manusia setengah hari, itulah sebutan yang di berikan orang – orang kepadaku. Aku senang menerimanya. Ya, memang seperti inilah aku. Manusia yang hanya hidup setengah hari. Maksudku, setengah hari hidup sebagai laki – laki. Dan setengah hari lagi sebagai perempuan. Siang hari aku bekerja sebagai seorang lelaki tulen, dan malam hari aku bekerja sebagai wanita tulen. Aku sangat benci jika orang – orang menyebutku ‘banci’. Karena sebutan itu hanya untuk pecundang.
 
 Oke, perkenalkan namaku. Namaku kalau siang Anton, kalau malam Anti. Tetapi nama asliku Slamet. (*maaf bila ada kesamaan nama). Pagi sampai siang hari aku bekerja sebagai penjaja koran di kios milik temanku dan di selingi dengan mengamen. Dan di malam hari aku bekerja sebagai wanita penghibur di sebuah klub malam. Pekerjaan ini kulakukan dengan tidak ikhlas memang. Karena kebutuhan hidup yang memaksaku untuk mengais – ngais harta di tumpukan sampah sekalipun.
 
                 Terkadang ketika aku sedang bekerja sebagai ‘wanita penghibur’, aku kerap mendapatkan pelecehan. Tentu saja dari lelaki – lelaki keparat itu. Jijik aku kepada mereka. Begini – begini juga aku masih normal. Meski aku bekerja untuk melayani mereka, tetapi aku tak pernah mau di ajak mereka tidur. Aku cuma menemani mereka untuk minum. Aku senang, karena minuman beralkohol itu bisa membuatku tenang. Setidaknya untuk sesaat aku terbebas dari himpitan ekonomi.
 
                 Aku mengerjakan semua pekerjaan ini hanya untuk kekasihku. Aku bermaksud meminangnya. Tetapi orangtuanya tidak setuju jika anaknya bersanding denganku. Dikarenakan aku miskin dan pengangguran. Aku tak tahu lagi mesti bekerja sebagai apa di kota perantauanku ini. Dengan berbekal ijazah SMPku, rasanya tak mungkin jika aku di terima bekerja di gedung – gedung mewah itu. Aku berharap, kekasihku itu tak melihatku bekerja seperti ini. Aku berjanji, setelah uang tabunganku cukup, aku akan membangun usaha sendiri. Mungkin restoran.
 
                 Pernah aku mendengar kabar bahwa kekasihku itu akan di jodohkan dengan anak dari sahabat orangtuanya yang merantau ke Jakarta. Aku berusaha untuk mencari informasi mengenai lelaki pilihan orangtua kekasihku. Setalah dapat, aku minta di pertemukan dengannya. Dan setelah kami bertemu, aku dengan sadis membunuhnya dengan mencekiknya lalu setelah itu ku cabik – cabik wajahnya dengan pisau. Aku tak kan rela melihat dia duduk dengan kekasihku di pelaminan.
 
                 Aku memang punya sifat aneh yang di sebut psikopat. Tak dapat di hitung dengan jari jumlah orang yang sudah kubunuh. Aku lebih suka membunuh mereka dengan mencekik leher mereka. Karena dengan begitu mereka akan merasakan sakitnya tak bisa bernafas. Sakitnya ketika seluruh otot mereka mengejang. Sakitnya ketika malaikat maut menarik nyawa mereka perlahan – lahan. Dan setelah itu, aku potong – potong bagian tubuh mereka. Lebih seringnya sih tangan. Lalu ku kuburkan mereka di belakang kostanku. Tak ada yang tahu hal itu. Terkadang aku juga menyimpan beberapa potongan dari tubuh korbanku. Mungkin saja aku membutuhkannya untuk memngisi perutku ketika dompetku sedang kosong. Tak kalah enak rasanya dengan daging ayam.
 
                 Banyak suka duka yang ku kecup dari pekerjaanku sebagai ‘wanita penghibur’ ini. Dukanya tentu saja pelecehan – pelecehan yang ku dapat dari ‘bangsat – bangsat’ itu (*upss). Dan sukanya, aku bisa melampiaskan kekesalanku kepada mereka yang kerap mengajakku untuk ‘bermain’ bersama. Aku suka melihat mulut mereka mengeluarkan busa setelah meminum ramuanku. Aku senang melihat wajah putih pucat tak bernyawa mereka. Haha… mereka pantas mendapatkannya.
 
                 Ketika aku bekerja sebagai ‘wanita penghibur’, aku selalu membawa ramuanku. Karena tak mungkin kan aku membunuh mereka dengan pisau di depan umum. Meskipun pisau selalu ada di dalam tasku. Bagiku, manusia – manusia seperti itu patut di binasakan dari muka bumi ini. Aku hidup di dunia, tak ada yang peduli. Sahabatkupun cuma satu. Tengku namanya. Dia sangat baik kepadaku. Sering memberikanku pinjaman uang dan terkadang mengajakku makan – makan.
 
    “Ti, lo temenin gue malam ini ya. Gue mau curhat nih sama elo.”
    “Curhat apaan, Ku ?”
    “Adalah. Pokoknya malam ini gue mau minum ampe butung. Gue baru aja di putus pacar gue.”
    “Syukur deh. Tuh cewek kan emang nggak pantes buat lo. Mending ama Mince tuh. Haha..”
    “Ah… Mince mah stok lama. Haha…”
 
                 Sering aku mendengar dari teman – temanku kalau Tengku itu ‘gay’. Tapi aku tak percaya. Aku kenal baik dengannya. Tak mungkin Tengku yang playboy itu ‘gay’. Lagipula, aku tak pernah melihatnya membaca majalah cowok atau bermesran dengan cowok.
 
                 Malam itu, ku temani Tengku bersenang – senang di klub tempatku bekerja. Malam ini malam minggu. Pantaslah jika klub penuh banget. Tapi malam ini, aku prioritaskan untuk menemani sahabatku, Tengku. Kami mengikuti musik yang di mainkan oleh DJ. Lampu kerlap – kerlip menyilaukan mata kami. Dengan penerangan yang remang – remang, aku masih bisa melihat segerombolan besar manusia menari – nari di bagian tengah ruangan klub ini yang memang di siapkan untuk tempat menari. Beberapa pria duduk di sofa yang ada di sudut ruangan sambil bercumbu dengan 2 – 5 orang wanita. Benar – benar memuakkan.
 
    “Anti, lo tahu nggak sih ? gue tuh sayaaaang banget sama elo.”ujar Tengku tiba – tiba dengan mulut berbau alkohol.
 
 Mungkin sekarang dia benar – benar mabuk. Ku tahan badannya yang agak limbung agar tidak terjatuh. Dengan botol wine di tangan kanannya, dia berusaha memelukku. Awalnya aku biasa aja. Karena aku tahu, Tengku sedang bersedih saat ini. Tapi lama kelamaan, Tengku mulai menggerayangi tubuhku. Dia kecup lenganku. Ihh… aku semakin risih saja. Berkali – kali ku coba menjauhkan tubuhnya dari tubuhku. Tapi dia malah memberontak. Sampai – sampai ku tampar wajahnya untuk menyadarkannya. Tapi dia malah semakin brutal.
 
 Akhirnya, dengan berat hati ku keluarkan pisau dari dalam tas yang ku geletakkan di sampingku dan ku arahkan ke arahnya. Dia kaget, dan mundur menjauhiku. Semua orang menoleh ke arahku. Beberapa bodyguard mulai menyergapku. Tapi mereka kalah, karena aku memutar – mutar pisauku ke arah mereka hingga menyobek perut mereka. Hening semuanya. Tampak wajah – wajah ketakutan menatapku. Setelah ini aku berencana untuk lari secepat – cepatnya meninggalkan tempat itu.
 Dengan nafas terengah – engah, aku bangkit dari dudukku dan bersiap – siap untuk mengambil langkah seribu. Beberapa saat hening, kemudian ketika tepat langkahku di mulai untuk meninggalkan tempat terkutuk itu, Tengku menarik tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku sudah tak tahan lagi. Ku tusuk dadanya dengan pisauku. Tepat di jantungnya. Sekarang tak ada lagi yang berani kepadaku. Mereka semua mundur menjauhiku. Setelah ku lihat wajah Tengku yang mulai memucat, dan darah segar mengucur dari dadanya. Aku menangis.
 
    “Tengku, maafin aku.”ratapku sambil memeluk tubuh lemahnya. Dia tersenyum menatapku. Meski dengan raut muka kesakitan. Dengan mata yang hamper terpejam, dia kecup keningku. Ihh… rasa jijik kembali menggerayangiku.
 
                 Beberapa orang mulai berlari ke arahku dengan senjata masing – masing. Mereka menggunakan kesempatan ketika aku sedang lengah ini. Tapi aku tak kurang akal, segera ku raih botol wine yang ada di atas meja. Lalu ku arahkan ke mereka. Botol itupun pecah membentur lantai. Lalu ku ambil korek gas di atas meja, menyalakan apinya, lalu ku lempar korek itu ke arah lantai yang basah oleh wine itu.
 
    “Letakkan sejata kalian !!”teriakku kepada semua orang. Semua menurut, lalu ku raih dua buah pistol yang di serahkan oleh bodyguard di klub itu. Ku tembakkan pelurunya ke arah rak – rak minuman beralkohol yang terletak di samping tempatku duduk. Tak lama, klubpun meledak. Aku beruntung, masih sempat melarikan diri. Dari luar, aku melihat manusia – manusia malang terbakar di dalam klub itu. Beberapa mobil polisi dan mobil pemadam kebarakaran tiba beberapa menit setelah aku berhasil kabur dari tempat itu.
 
                 Aku berlari sambil tertawa terbahak – bahak dan menembakkan pistolku ke semua orang yang melihatku. Mereka semua terkapar tak berdaya. Tapi di tengah jalan, ada beberapa orang anggota polisi yang mencegatku. Ku arahkan pistolku ke arah mereka. Tapi ternyata mereka punya lebih banyak pistol daripada aku. Aku menyerah. Ku angkat tanganku ke atas. Dan mereka mulai memborgol pergelangan tanganku. Sambil di seret – seret menuju ke mobil polisi, aku berucap pada dunia.
 
    “Tunggu aku ! Aku akan menghancurkan kalian semua ! tak akan ku biarkan kalian hidup ! haha…”
 …………………
    “Hahaha…. Kalian akan ku hancurkan ! akan ku cabik – cabik tubuh kalian ! hahaha….”tawa histeris Slamet alias Anto alias Anti itu membahana di seluruh koridor rumah sakit jiwa itu. Tampak kakinya di rantai ke kaki tempat tidurnya. Beberapa orang perawat berusaha menyuntikkan obat penenang kepadanya.
 
                 Di koridor rumah sakit itu, tampak seorang gadis berusia sekitar 25 tahun berjalan tergesa – gesa.
 
    “Dok, di mana tempat Slamet di rawat ?”Tanya gadis itu kepada seorang dokter yang terlihat terengah – engah karena mengikuti langkah sang gadis yang terburu – buru.
 
    “Tidak usah terburu – buru, mbak. Ini kita sudah sampai. Silahkan masuk.”ujar dokter itu mempersilahkan gadis itu untuk masuk ke ruangan berukuran kecil. Dengan tubuh bergetar, gadis itupun memasuki kamar itu. Sesampainya di dalam kamar itu, dia jatuh terduduk di lantai. Tak kuat lagi menyangga tubuhnya yang lemas. Miris dia melihat kekasihnya yang di rantai.
 
    “Slamet… slamet… sla… slamet ??”ujar gadis itu parau. Lelaki dengan rambut acak – acakan itupun menoleh. Bebarapa saat diam terpaku memandangi sosok gadis di hadapannya itu.
 
    “Eh… Diah ? Di… ah ? Diah ??”ujar lelaki itu
 
    “Iya, ini aku Diah. Kamu kenapa seperti ini, Met ?”
 
    “Diah ?”dengan langkah terseok – seok, di hampirinya gadis itu. Di pegangnya kedua pipi gadis itu. Setelah menyadari kenyataan bahwa kekasihnya datang menemuinya, Slametpun menangis.
 
    “Aku menunggu kamu di kampung. Aku percaya kamu bakal sukses di Jakarta. Tapi kenapa kamu… kenapa kamu… hiks”tak kuat lagi gadis itu menahan rasa kecewaannya. Di tatapnya wajah sang kekasih. Banyak perubahan yang terjadi di wajah yang sangat dirindukannya itu. Sorot matanya sayu. Wajahnya penuh baret luka. Urat – urat di wajahnya menonjol. Sangat mengerikan.
 
    “Aku memang sudah sukses, sayang. Lihatlah ! aku hebat kan sekarang ? kamu tahu ? aku sudah membunuh banyak orang. Aku makan daging mereka dan ku kubur mereka di belakang rumahku ! haha… aku hebat kan ? kau harus bangga padaku !”
 
 Tak ada lagi yang dapat di katakan gadis itu. Lelaki yang di pujanya, yang di nantikan kehadirannya, yang di pertahankannya, sekarang telah menjelma menjadi iblis yang menjijikkan.

0 komentar:

Posting Komentar