Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Senin, 23 Januari 2012

IPA dan IPS dalam Tulisan Fiksi


Oleh Suyatna Pamungkas

“Penulis yang baik adalah yang tahu ke mana arah jatuhnya benda yang dilemparkan vertikal ke atas, dan bisa menjelaskan kenapa itu bisa terjadi.” 

Dalam kuliahnya, Prof. Beny Hoed menyampaikan penggolongan ilmu-ilmu menjadi dua, yakni: IPA (Ilmu Pengetahuan Alam): menemukan hukum-hukum alam sbg sumber dari fenomena alam à erklären (menerangkan) àhukum-hukumnya tetap. IPB (Ilmu Pengetahuan Budaya): manusia sebagai “objek” dan “subjek” sekaligus à verstehen (memahami) àobjek memandang dunia. Di dalam IPB ini terkandung ilmu humaniora dan IPS. Ada dua kubu besar di sini, yakni yang bersifat idealistik dan yang bersifat materialistik. Ilmu-ilmu seperti filsafat, psikologi, antrolopogi, semiotika lebih bersifat idealistik, lebih pada usaha memahami (verstehen). Sementara ilmu-ilmu alamiah lebih bersifat materialistik, yakni menemukan hukum-hukum alam dari fenomena alam,  menerangkan (erklären) hukum-hukum alam yang bersifat tetap ini.

            Hingga tahun 2012 ini, di bangku SMA, agaknya masih milik “anak eksak”. Jurusan IPA masih lebih favorit kebanding jurusan IPS. Semua berlomba-lomba mendapat kursi di bangku IPA, dan malangnya, kelas IPS seolah menjadi “buangan” anak-anak IPA yang tidak mampu memenuhi prasyarat masuk IPA. Dalam sebuah survey kecil, saya sengaja memintakan pendapat anak SMA tentang pilihannya masuk sebuah jurusan pengkhususan di sekolahnya, dan didapatlah jawaban berikut ini:

            “Saya itu tidak pintar IPA mas, tapi jujur saya gengsi ketika harus nyemplung di kelas IPS, apalagi bahasa. Walau saya keteteran mengikuti materi di kelas IPA ini, namun saya senang karena saya anak IPA, bukan anak IPS apalagi bahasa.” (tutur Mae, seorang tiga SMA yang tak mau disebut nama asli dan asal sekolahnya)
           
            “Kalau saya sih ngikut kata mamah. Memang sudah lama sih Mas, mamah nyiapin saya supaya masuk ke IPA. Sehingga sudah sejak jauh hari lebih serius ke pelajaran IPA daripada ke pelajaran IPS.” (Giska, teman satu kelas Mae, mengungkapkan pendapatnya)
           
            “Kalau saya sih memang sejak kecil benci sama Matematika, Mas. Saya tumpul di hitung-menghitung, saya lebih suka menghafal atau membaca tulisan panjang. Itulah mengapa saya masuk IPS.” (di sisi lain, Hilda menambahkan)
            Mae dan Giska sama-sama di lingkungan akademisi yang baik. Ayah Mae seorang Dosen Biologi di PTN di kota Jogja, dan ibunya seorang guru di sebuah Madrasah Tsanawiyah. Sementara Giska, ayahnya adalah karyawan di perusahaan farmasi dan ibunya berprofesi sebagai guru SMA di kota Jogjakarta. Sementara si anak IPS, Hilda, kedua orang tuanya berprofesi sebagai wiraswasta, memiliki jasa tour n travel dan laundry.
           
            Inilah yang ingin saya tunjukkan, superioritas dan inferioritas ilmu. Semua dilatarbelakangi motif sama, dan agaknya bagi saya ini bukan sebuah motif yang bisa dipertanggungjawabkan dengan akal sehat, motif mencari pekerjaan dan peluang sukses di masa yang akan datang. Stereotip –ijinkanlah saya menyebut ini sebuah stereotip –yang terbentuk dari mentalitie mereka adalah “peluang menemukan pekerjaan anak IPA lebih baik dibanding anak IPS”. Akhirnyalah, peluang ini dikaitkan dengan masa depan seseorang. Idealnya, orang yang mudah menemukan pekerjaan maka korelasi logisnya adalah kesuksesan akan mudah diraihnya.
           
            Menilik survey kecil saya di daerah Jogja beberapa hari yang lalu, dapat saya simpulkan bahwa rupanya, hingga tahun 2012 ini IPA masih menjadi gengsi tersendiri. Masuk IPA adalah sebuah kebanggaan, walau harus dijalani dengan adanya unsur pemaksaan. Pemerkosaan terhadap keniatan, keinginan, skill, dan kemampuan dasar seseorang. Seperti kasus Mae dan Giska di atas tadi. Ada keterlibatan orang tua dalam penentuan pilihan mereka.
           
            Masuk kuliah pun sama. Mereka berebut passing grade yang tertinggi, memandang seolah-olah yang passing grade-nya tinggi adalah jurusan yang akan membawanya pada tangga kesuksesan tertinggi. Well, saya tidak menyalahkan apalagi men-judge jurusan eksak itu buruk, sebab terbukti sampai sekarang kita merasakan manfaatnya. Namun berada dalam wilayah tidak nyaman, memilih bidang keahlian tanpa minat, memaksakan mencari yang grade-nya tinggi, adalah kesalahan.
           
            Jika menengok beberapa masa ke belakang, maka ijinkanlah saya mengkotak-kotakkan profesi terfavorit ke dalam sebuah periodisasi. Pernah ada masa ketika dokter menjadi profesi paling favorit, sehinggalah fakultas kedokteran laris manis diserbu calon mahasiswa. Itu pernah, dan bahkan masih sampai sekarang. Serupa dengan profesi guru. Meski prestice tidak setinggi dokter, namun alasan mudanya mencari pekerjaan sehinggalah jurusan pendidikan juga favorit, dan semua berbondong-bondong menjadi guru. Sekitar tahun 2000 kita dihadapkan pada arus modernisasi yang super cepat, sehingga menimbulkan impak arus komunikasi begitu kencang, maka muncullah prodi favorit seperti teknologi informasi dan komunikasi. Semua yang berbau IT diserbu. Beberapa waktu terakhir muncul jurusan ilmu favorit baru, design. Dunia pun menjadi lebih berwarna-warni dengan kehadiran orang-orang design. Pertanyaan menggelitiknya, “kapan profesi menulis diminati sebagaimana minat terhadap profesi dokter, bidan, guru, pengacara, arsitektur, dan sebagainya?”
           
            Lulus sekolah, saya pun ingin kuliah di kedokteran, namun karena berbagai kendala akhirnya saya gagal. Satu frame yang ingin saya tekankan adalah, kita masih terbodohi dengan berkata: ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan sastra pada khususnya adalah ilmu yang teranaktirikan. Lagi-lagi saya juga masih berada pada frame bahwa eksak lebih baik dari sosial.  Melalui perenungan kali ini, saya ingin mengajak Kawan semua untuk melupakan sejenak dunia angka, mari bertamasya ke dunia warna-warni milik orang otak kanan, dunia fiksi.
           
            Oke, saya tidak akan bicara banyak tentang dunia akademisi. Pengkotak-kotakan seperti itu biarlah menjadi pekerjaan orang-orang manajemen pendidikan, atau expert pendidikan. Sengaja saya masuk ke dalam pembahasan menyoal IPA dan IPS untuk membuka mindset baru bahwa semua bidang keilmuan adalah sama baiknya. Semua bidang keilmuan memerlukan ahli dan akademisi untuk melakukan penelitian, menemukan sesuatu yang baru, merumuskan teori, dan mengembangkan bidang keilmuan itu untuk mencapai peradaban yang lebih maju.
           
            Lantas di mana IPA dan IPS dalam fiksi itu?

            Saat baru pertama menulis, sebagai mula-permulaan, adalah wajar ketika penulis berkutat pada wilayan aman, berkutat pada ranah pengalaman pribadi. Secara sederhana dapat saya katakan bahwa pada tahap ini penulis berusaha menggali segala kekayaan fiksi dalam dirinya, untuk kemudian direkonstruksi ulang menjadi cerita fiksi. Tidak mengapa, dan itu sah-sah saja. Semua memang selalu berubah, dan semua dalam rangka menuju kemapanan. Menjadi penulis juga harus melalui tahap-tahap tertentu, tidak bisa instan dan tiba-tiba menjadi penulis besar. Kecuali naba besar seperti Andrea Hirata, yang dengan karya perdananya, Laskar Pelangi, langsung menggebrak dunia kesusastraan.  
            Ada tahap menjadi penulis yang biasanya dilalui seseorang yang berproses menjadi penulis:
1.    Trial eror
2.    Pencarian personal brand
3.    Konsistensi
4.    Penguatan brand
5.    Eksplorasi dunia dalam berkarya
            Pada tahap trial-eror, penulis masih berkutat di masalah pribadi yang diceritakan ulang, menyoal sesuatu yang pribadi dan ingin ditunjukkan kepada khalayak. Pada tahap ini, penulis tidak dituntut menyertakan banyak referensi dalam tulisannya. Kepada peserta workshop penulisan, saya selalu menyampaikan penggolonagan penulis menjadi “novelis” dan “story teller” atau “pencerita” atau “tukang cerita”. (Penjelasan mengenai perbedaan antara novelis dan pencerita akan saya jelaskan pada materi penulisan berikutnya.) Jika harus memposisikan, saya selalu memposisikan penulis-penulis ini dalam satu pengkategorian “pencerita”. Mereka menceritakan tokoh dengan alat bantu lima unsur intrinsik lainnya, dan sesekali unsur ekstrinsik ikut menunjang penguatan namun dalam porsi yang tidak terlalu signifikan.  
            Ketika penulis telah memasuki tahap ke-empat, yakni penguatan brand, penulis akan memasukkan unsur-unsur ekstrinsik secara lebih mendalam. Ini bukan berarti pada tahap pertama, yakni trial-eror, penulis tidak memasukkan unsur ini. Hanya saja kapasitasnya masih terbatas, dan penyertaan unsur ini belum dianggap sesuatu yang frontal. Pada tahap matang, yakni penguatan brand penulis, penulis mulai mementingkan unsur ini. Cerita dipondasi dengan unsur intrinsik, dikuatkan dengan unsur eksrinsik. Unsur ekstrinsik ini bisa menyangkut religi, sosiologi, hukum, ekonomi, astronomi, astrologi, antropologi, humaniora, dan sebagainya. Dan tentu saja ini terjadi pada tahap yang terakhir, yakni ketika penulis berada pada tahap pengekspolarasian dunia melalui karya. Unsur intrinsik yang dalam tahap trial-eror menjadi unsur yang frontal, menjadi unsur sarana pengungkapan semata, dan lebih menonjolkan unsur ekstrinsiknya.

            Nah, di sinilah menariknya menjadi penulis.

            Saat duduk di bangku kuliah, saya mendapatkan materi kuliah Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial Dasar. Saya menganggapnya sebagai pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial di bangku SD waktu dulu. Awalnya saya mengikuti materi kuliah ini hanya karena alasan kewajiban saja, tuntutan lulus dari sebuah beban paket mata kuliah. Tak ada yang menarik dari mata kuliah ini.
           
            Namun setelah saya menjalani sebuah proses menjadi penulis saya merasakan sekali pentingnya saya mengikuti dua mata kuliah ini, sebuah mata kuliah wajib di Fakultas Ilmu Budaya. Tepatnya ketika saya membaca ulang cerita yang sudah saya tulis, dan saya merasa tidak menemukan power dalam tulisan-tulisan saya. Pada suatu ketika, saya tersadarkan pentingnya IPA dan IPS ini. Ceritanya, kala itu saya sedang menulis tentang seorang dokter (rupa-rupanya saya memang kepincut profesi mentereng ini, tapi tidak kesampaian. Hiks hiks hiks) yang mengobati kelainan jantung bawaan pada anak-anak. Saya membaca, mencari tahu dari berbagai sumber bacaan seperti apa kelainan jantung bawaan pada anak-anak itu? Dari berbagai sumber bacaan itu saya mendapati beberapa istilah dan membuat dialog begini misalnya,
            “VSD. Ventrical Septal Defect. Ini berakibat darah yang membawa sari-sari makanan justru masuk ke dalam paru-paru dan bercampur dengan darah kotor. Akibatnya, pertumbuhan menjadi lambat, kemudian juga paru-paru menjadi ekstra dalam bekerjanya, sehingga ini berpengaruh terhadap imunitas atau kekebalan tubuh si anak, anak jadi mudah terserang penyakit…” kata Dokter.
            Adalah “tidak lucu” jika kita, penulis, hanya menyebutkan dengan begitu simple-nya lantas lari dari penjelasan ilmiah untuk menguatkan pernyataan dalam cerita sehingga pembaca mampu menggambarkan cerita yang kita bangun secara holistis sempurna. Andai saya tidak membaca lagi buku ilmu kedokteran, barangkali dalam tulisan saya tidak akan berbunyi seperti petikan dialog di atas namun misalkan akan berbunyi begini, “anak ini terkena kelainan jantung, dan harus dioperasi.” Titik. Saya tidak akan menjelaskan apa itu VSD, darah kotor, imunitas, dan istilah medis lainnya.
            Andrea Hirata tidak mungkin menuliskan bahwa di sekitar sekolah Laskar Pelangi-nya tumbuh tanaman felycium andai Andrea tidak membaca dan tahu ilmu IPA. Bisa jadi Andrea mengosongkan deskripsi di sana tanpa menyertakan nama latin tumbuhan ini. Tentu saja ini akan mengurangi estetika cerita yang dibangun dan penguatan brand Andrea Hirata sebagai penulis novel scientist.
            Paragraf pembuka novel “Sang Pemimpi” pun demikian, semata bisa tercipta karena Andrea menguasai ilmu-ilmu IPA. Berikut saya kutipkan:
Daratan ini mencuat dari perut bumi laksana tanah yang dilantakkan tenaga dahsyat kataklismik. Menggelegak sebab lahar meluap-luap di bawahnya. Lalu membubung di atasnya, langit terbelah dua. Di satu bagian langit, matahari rendah memantulkan uap lengket yang terjebak ditudungi cendawan gelap gulita, menjerang pesisir sejak pagi. Sedangkan di belahan yang lain, semburan ultraviolet menari-nari di atas permukaan laut yang bisu bertapis minyak, jingga serupa kaca-kaca gereja, mengelilingi dermaga yang menjulur ke laut seperti reign of fire, lingkaran api. Dan di sini, di sudut dermaga ini, dalam sebuah ruangan yang asing, aku
terkurung, terperangkap, mati kutu. (Andrea Hirata dalam “Sang Pemimpi” halaman 01)
           
            Atau sebuah pelajaran IPS dari tulisan saya tersebutkan demikian:
           
            Benar sekali, bahwa sekumpulan manusia yang berkumpul dalam wilayah teritori akan melakukan interaksi dan saling bergantung. Sekumpulan itu lalu dipimpin oleh satu atau beberapa orang menggunakan seperangkat atur-aturan, demi menertibkan. Keadaan itu akan lama berlangsung. Terciptalah kebudayaan dari sana. Lama bertahan dalam ritme seperti itu. Meski tak terlihat, kehidupan sekumpulan manusia itu sejatinya sangat dinamis. Mereka berubah dan berkembang. Namun jika kehidupan bagai penjara bodoh, bagai tatanan yang mengultuskan nilai-nilai kesialan seperti jamannya jahiliah sebelum Islam datang, maka segalanya harus diubah. Struktur kemasyaraktan itu tak statis. Seperti pendapat Giddens, sebuah struktur juga mempunyai kemampuan untuk “enabling”, bukan hanya membatasi unsur-unsur di dalamnya. Struktur masyarakat kami kurang lebih sama dengan jahiliahnya sebelum nabi Muhammad, meski tak sebegitu parah memang. Sebagaimana struktur itu enabling, kami –atau aku akan mengusahakan tepatnya –akan berubah. Aku sangat menginginkan penduduk kami bebas buta huruf, bebas buta akidah, bebas buta Al Quran, bebas buta Islam. Tak mudah memang. Ibarat benang kusut, aku, atau empat berkawan tepatnya, harus mendirikan tegak benang kusut itu. Dengan apa empat berkawan akan melakukannya? Pertama tentu dengan niat dan keyakinan. Duh Gusti, mudahkanlah jalan kami memuliakan ajaran-Mu. Amin…     
            Aku tak dapat pejam untuk tidur, badanku pegal-pegal seperti segala perekat dalam sendiku terpental satu-satu. Sampai sesubuh begini aku masih memikirkannya. Empat berkawan dan bedol desa. Aku terlalu menggelisahkan transmigrasi bedol desa yang akan memangkas kebersamaan empat berkawan. Semalaman aku memikirkan nasib kami: empat berkawan dan Bayur dengan kejahiliahannya. Hingga adzan subuh di kejauhan mememanggilku aku masih belum juga memejamkan mataku ini. Semua seperti menjadi kesia-siaan. Sebentar lagi persatuan empat berkawan hanya tinggal nama. Percuma saja pekan lalu memenangi lomba penulisan dongeng, dan sebentar lagi akan maju ke tingkat provinsi, mewakili kabupaten Banyumas. (Suyatna Pamungkas dalam “Anak Negeri”, halaman 71)

Berbagai istilah asing muncul dari tulisan Andrea Hirata, begitupun dalam tulisan saya, dalam tulisan Pramoedya Ananta Toer, dalam tulisan Ahmad Tohari, dan semua penulis yang berusaha membangun kesatuan cerita yang  istana sentris, dan bernilai estetika tinggi.

Ini penting untuk dilakukan terutama mereka yang telah atau sedang dalam tahap penguatan brand, sebab jika membenarkan bahwa penulis adalah “tuhan setelah Tuhan” maka penulis harus mengetahui berbagai aspek dalam penulisannya. Tujuannya mulia, yakni untuk menuntun pembaca agar dapat serasa hadir di dalamnya. Pembaca akan merasa terntuntun dengan adanya deskripsi yang gamblang dan tuntas. Namun begitu, jangan sampai penulis larut dalam penjelasan deskripsi sehingga bukan dia membuat pembaca mengerti namun sebaliknya, bingung memahami. Penulis yang baik adalah yang mampu menjelaskan kepada pembaca dengan tuntas tapi mudah dimengerti, sedang penulis yang buruk akan membuat pembaca kelelahan membaca deskripsi panjang yang tidak mengandung makna tuntas.
Inilah ilmu IPA, kegunaan ilmu IPA dalam fiksi.
Nah, untuk menulis dengan tuntas itu maka ilmu menulis yang saya cetuskan pada kesempatan kali ini berbunyi: bahwa penulis juga harus menguasai Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial Dasar. Bahwa penulis yang baik adalah yang menguasai paling tidak Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial Dasar.



Baca Terusannya »»  

Minggu, 22 Januari 2012

PENGUMUMAN PEMENANG LOMBA CIPTA CERPEN INDONESIA 2011 (LCCI 2011) DARI INDONESIAN WRITERS UNIVERSITY

Berikut  Pemenang Lomba Cipta Cerpen Indonesia 2011 (LCCI 2011):

(Urutan tidak menunjukan penilaian)

1.Akhir Pertaruhan Lelaki Pecinta Air (Fatih Muftih)
2. Aku Bukan Kurcaci (Sherlly Ken Anaqah Hamidah)
3. Awal Cinta Sepanjang Jalan (Busyra)
4. Badai Batu Drupadi (Inung Setyami)
5. Bittersweet game (Ratna Mar-atush)
6. Cerita Hati (Erma Rotiana D)
7. Indah Pada Waktunya (Asyifa)
8. Jalan (Widya)
9. Jejak Cinta Lesmana (Nenny Makmun)
10. Jika Sore itu tak Hujan (Asef Saeful Anwar)
11. Judul (Sandza)
12. Kabut Surau (Hermawan W Saputra)
13. Kaus Kaki Natal (Dianna Firefly)
14. Lelaki yang Takut pada Sepi (Fandrik Ahmad)
15. Monolog Kerinduan (Mawaidi D Mas)
16. Nyalon Lurah (M.Arif Budiman)
17. Perempuan Pantai Utara (Zamzami Elriza)
18. Permintaan Ajeng (Hilal Ahmad)
19. Racun (Arieska Arief)
20. Senja Mengukir Kisah (Nyi Penengah Dewanti)


Cerpen Favorit Juri:

1. Pahlawan Kecilku (Feby Pratama)
2. Aku Ada (Salma Keant)
3. Cahaya Terakhir (I Dewa Ayu Diah Cempaka Dewi)
4. Untuk Senyum untuk Ibu di Surga (Wahyu Nunung W)
5. Menuju Moksa (Adi Nugroho)

Terima kasih kepada seluruh peserta LCCI tahun 2011, bagi yang belum “beruntung” bisa mengikuti event sejenis di akhir tahun 2012.

Kepada para pemenang, kami ucapkan selamat atas karya Anda semua, semoga tetap produktif berkarya dan berbagi ilmu kepenulisan kepada sesama.

Untuk selanjutnya, bagi 20 pemenang harap mengirimkan email ke iwu.berkarya@yahoo.com dengan format:  Registrasi Mahasiswa IWU 2012_NAMA, yang di dalamnya berisi:

1. Surat pernyataan berisi kebersediaan mengikuti kuliah online bersama Indonesian Writers University.
2. Lampiran daftar riwayat hidup (mohon diisi secara detil)
3. Lampiran contoh karya yang sudah dipublikasi, atau bagi yang belum bisa mengirimkan satu cerpen terbaiknya selain naskah yang diikutkan lomba LCCI 2011.
4. Semua file disatukan dalam satu dokumen .rar arau .zip

 
Catatan:
1. Peserta yang dinyatakan menang, namun tidak bersedia mengikuti kuliah online bersama Indonesian Writers University dipersilakan tidak mengirimkan dokumen seperti tersebut di atas, namun cerpen karyanya tetap akan dimasukkan dalam buku antologi "Monolog Kerinduan" (antologi pemenang LCCI 2011). Kebijakan yang  semula hanya menerbitkan 10 cerpen terbaik, dengan ini disampaikan oleh official IWU, bahwa kebijakan tersebut diubah menjadi: 20 cerpen terbaik dibukukan plus 5 cerpen favorit.

2. Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat, dan panitia lomba tidak melayani surat menyurat dalam bentuk apapun.

3. Cerpen favorit akan ikut dibukukan bersama 20 pemenang LCCI, dan berhak mendapatkan buku antologi  “Monolog Kerinduan” setelah buku ini terbit, dan tidak diikutkan ke dalam kelas menulis.


Salam karya,

Suyatna Pamungkas
(CEO of IWU)
Baca Terusannya »»  

Minggu, 08 Januari 2012

If you can write

"If you can speak what you will never hear, if you can write what you will never read, you have done rare things. - Henry David Thoreau
Baca Terusannya »»  

Sabtu, 07 Januari 2012

A Great Book

"A great book should leave you with many experiences, and slightly exhausted at the end. You live several lives while reading it."  (William Styron)
Baca Terusannya »»  

Kata Mereka tentang IWU (Indonesian Writers University)



1.    IWU itu tempat aku pertama kali bisa mengembangkan minatku di bidang sastra. (Josephine Octavia , Jakarta)

2.    Buat saya IWU adalah kampus pertama yg saya masuki yg langsung bikin sy jatuh cinta ♥, hehe....! (Poetry Karatan, Jakarta)


3.    IWU memberikan saya pengetahuan-pengetahuan tentang kepenulisan. Menambah teman dan seperti berada saat di sekolah. (Luneta Aurelia Fatma, Depok)

4.    IWU itu perjalinan erat dalam segala hal. (Adrian Monteque)


5.    kesan pertama IWU, begitu mempesona, selanjutnya...? Seperti magnet: lagi..lagi...mau lagi. (Unis Sagena, Selangor-Malaysia)

6.    Senang! Itulah kata pertama yang terlintas di benak saya saat ditanyakan tentang kesan belajar di IWU. Saya yang memulai menulis secara otodidak dan "seenak-gue", sangat terbantu dengan postingan materi yang diberikan. EYD yang masih berantakan, diksi yang terlalu sederhana serta alur cerita yang tidak selaras dapat segera saya perbaiki setelah mendapat "pencerahan" dari sensei serta teman2 di IWU. Selain itu, mood menulis yang menurun juga dapat terpacu kembali saat sensei dan teman2 terus memberikan dorongan semangat plus komentar positif. Senangnya.... Tidak ada kesenjangan antara "senior" dan "junior" serta keramahan sensei yang hobi mention, membuat suasana di IWU semakin akrab, layaknya saudara sekandung padahal kami semua tinggal berjauhan.  Belajar di IWU, perlahan-lahan impian menjadi nyata. (Tha Artha, Surabaya)


7.    IWU Pembimbingnya kesan pertama kenal sangat baik ramah dan bersahabat kak syifa dan kak suyatna pamungkas dan sahabat lainya. IWU Penuh persahabatan baik,saling berbagi seperti keluarga canda tawa dan berbagi ilmu pengetahuan. (Yuni Farikh Araqan, Taiwan)

8.    IWU sangat WOW dan sesuatu, selain di sni dpt mendapat ilmu baru, saya juga mndapat pengalaman baru juga skaligus dapat kembali membangkitkan nyawa saya yang pernah redup (haduh alay deh ah!)  Di sini juga bisa bertemu sama teman-teman baru, adik baru,kakak baru, keluarga baru, semuanya serba baru tapi penuh kehangatan. Pokoknya IWU  the best. Seneng bisa belajar di sini sekaligus bisa punya keluarga baru :) luph u my campus, luph my family, semoga makin wow! Amin (Yetik Afriana, Surabaya)


9.    IWU emang lbh bersahabat dan welcome sm IWU addictnya.  (Khoirunnisa Dewi Suni, Bandung)


‎Suyatna Pamungkas,,,, belum lama kenal dan mengetahuin nama ini. sosok muda yang kreatif. disaat sebagian orang enggan membagi ilmu,, ia malah membagi secara gratis dan tak henti memberi semangat menulis bagi semua. IWU banyak memberi masukan dan cara menulis yang baik,,, semoga semua ga ada yang sia-sia.. Lanjutkan IWU khususnya kepada @suyatna pamungkas.....Thanks (Rifat Khan, NTB)


Baca Terusannya »»  

DEARFRENZ WRITING COMPETITION FOR VALENTINE With IWU (Indonesian Writers University)







Dalam rangka menyambut hari Valentine di bulan Februari, yuk ikutan “DF Writing Competition For Valentine!”
*25 Naskah cerpen yang terpilih oleh panitia akan diterbitkan menjadi buku antologi cerpen.

Berikut syarat-syaratnya :
1. Tidak ada batas umur peserta.
2. Tema cerpen : "Kasih Sayang"
3. Panjang naskah maksimal 9100 karakter termasuk spasi, atau 1400 kata dengan double line spacing atau sekitar 6-8 halaman kuarto. Menggunakan Font Times New Roman 12. Margin 4433 (atas dan kiri 4, kanan dan bawah 3).
4.  Memiliki akun Dearfrenz  (www.dearfrenz.com) dan bergabung di  Grup Indonesian Writers University di Dearfrenz (http://www.dearfrenz.com/group/146) serta mengajak dan mereferensikan info lomba ini ke catatan masing-masing akun facebook, minimal 20 teman.
5.  Menyertakan foto, biodata Penulis (termasuk akun Dearfrenz dan Facebook), profil singkat penulis, minimal 100 kata.
6. Peserta hanya diijinkan mengirim 1 naskah terbaik.
7.  Hak untuk memuat naskah-naskah cerpen di media online ada pada Indonesian Writer University dan Dearfrenz.
8. Panitia berhak mengganti judul dan menyunting tanpa mengubah isi.
9. Keputusan dewan juri mengikat. Tidak dapat diganggu gugat dan tidak ada surat menyurat.
 10. Lomba ini tertutup untuk karyawan dan segenap staff Indonesian Writer University.
11. Naskah di kirim ke email: suyatna_pamungkas@dearfrenz.com dengan subjek email:  DFWC_Judul Cerpen_Nama Penulis.
12. Naskah paling lambat diterima panitia tanggal 31 Januari 2012 pukul 00:00 WIB
13. Naskah yang dikirim merupakan karya asli dan belum pernah dipublikasikan.
Pemenang akan diumumkan pada tanggal 14 Februari 2012, di http://www.dearfrenz.com/ dan IWU

  
Pemenang I : Rp 200.000,-
Pemenang II : Rp 150.000,-
Pemenang III  :  Rp100.000,-

Pemenang I, II dan III akan mendapatkan buku antologi DF Writing Competition For Valentine + 500 Zpoint.

5 Pemenang Hadiah hiburan mendapatkan buku antologi DF Writing Competition For Valentine + 300 Zpoint.
Baca Terusannya »»  

Jumat, 06 Januari 2012

Writing Question: Apa yang akan Kamu Tulis?

Oleh Suyatna Pamungkas

  
Menentukan research question dalam penelitian ilmiah merupakan tahapan yang sangat penting, saking pentingya seringkali peneliti dibuat “keriting” memikirkan satu pertanyaan untuk penelitiannya ini. Baik saat akan menulis paper, makalah, skripsi, tesis, atau bahkan disertasi, selalu yang pertama harus digodok dengan matang adalah research question. Secara harfiah research question berarti "pertanyaan penelitan", menyatakan hal apa yang akan dipermasalahkan dalam penelitian. Research question akan sangat menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, juga terkait dengan manfaat penelitian. Lagi, research question inilah yang akan digunakan sebagai dasar dalam melakukan penetian, sesuatu yang sangat fundamental. 


            Lalu apa kaitan research question dengan penulisan fiksi?


            Jika dalam penelitian ilmiah dikenal istilah research question, dalam penulisan fiksi juga dikenal istilah writing question (sebutan ini adalah teori dari Suyatna Pamungkas dalam dunia kepenulisan fiksi, dengan mengadopsi yang ada pada penelitian ilmiah). Secara harfiah, writing question bisa diartikan “pertanyaan kepenulisan”. Maksudnya adalah, sebelum menulis fiksi –apalagi fiksi panjang –sebelumnya kita bertanya kepada diri sendiri: apa yang mau ditulis? Seperti halnya sinopsis, writing question ini juga dapat digunakan sebagai alat untuk berpijak, menentukan sesuatu yang akan ditulis. Benar sekali, sekali lagi saya tegaskan bahwa fiksi juga mengenal writing question seperti halnya penelitian ilmiah yang mengenal research question.



            Research question ini akan tampak saat tahap menulis sinopsis, jauh sebelum menulis sinopsis. Seperti yang saya bilang pada pembahasan mengenai sinopsis cerita, beberapa kesempatan yang lalu, bahwa produser biasanya akan membaca sekilas sebuah sinopsis lantas memutuskan cerita tersebut menarik dan layak untuk ditayangkan atau tidak. Ya benar, sangat sekilas dan cepat. Tentu Kawan masih ingat soal premis cerita yang pernah kita bahas pada pelajaran terdahulu, bahwa setelah menentukan tema kita akan mengembangkan tema tersebut menjadi premis cerita berupa kalimat utuh. Inilah yang sesungguhnya dicari oleh produser (dalam industri film) dan redaktur (dalam industri penerbitan).



            Ya benar, para produser dan redaktur penerbitan biasanya menggunakan metode ini, di tengah kesibukan yang super 24 jam, produser dan redaktur hanya mempunyai waktu sekitar lima menit untuk membaca tawaran skenario/buku yang diajukan penulis. Dengan waktu yang super singkat tersebut, produser/redaktur akan mencari "masalah" yang sedang ditawarkan.   Seseorang sahabat yang sudah 20 tahun bersahabat dengan saya, menyuruh saya menulis novel tentang perjalanan hidup kami. Apa yang menarik? Di mana-mana kisah persahabatan berlangsung "sama": bertengkar, berselisih, bersahabat, nakal, bolos sekolah, bohongin orang tua, berpetualang, dsb. Lalu apa yang membedakan dengan kisah-kisah persahabatan yang lain? Kisah persahabatan yang dialami bukan oleh saya dan oleh teman saya tersebut? Sekali lagi, apa yang menarik dari sana?



            Ada lagi cerita berikutnya, seorang gadis yang, yah, sebutlah berpacaran dengan saya selama delapan tahun, menyuruh saya menulis cerita dengan judul "sewindu" saat kami akan memperingati hari ulang tahun jadian kami. Apa yang harus dipersoalkan, tanya saya dalam hati. Iya benar, selama pacaran kami melalui proses yang sangat panjang, yang jika ditulis dalam sebuah buku maka jumlah halamannya bisa beribu-ribu. Namun, di mana yang menarik? Apa yang ingin saya permasalahkan? Apa yang ingin ditonjolkan? Dan untuk apa, memberi manfaat apa jika cerita tersebut ditulis?



            Konsep ini menjadi penting karena dalam kepenulisan juga akan dituntut “pertanggung jawaban” penulis. Tentu, sebelum menulis penulis sudah terpikirkan, untuk tujuan apa dirinya menulis? Ada penulis yang menulis dengan tujuan menghasilkan uang, silakan saja. Ada penulis yang menulis dengan tujuan untuk eksistensi diri dalam literasi, juga boleh-boleh saja. Atau barangkali penulis Pramoedya sebelum menulis telah menentukan tujuan penulisan, untuk mengangkat citra pribumi orang-orang Indonesia, misalnya. Raditya Dika menulis Kambing Jantan, mungkin bermula dari iseng belaka, namun dari hatinya bisa kita tebak bahwa dirinya ingin berbagi sesuatu yang sangat lucu, gokil, dan seterusnya. Ada juga penulis yang menulis dengan tujuan personal lainnya. Silakan, itu tujuan dan hak masing-masing penulis.



            Nah, kaitan dengan tujuan menulis, pentingnya writing question adalah menentukan dan membatasi masalah yang ingin disampaikan, mengesampingkan pembahasan yang dirasa tidak penting, juga memberi manfaat yang lebih bagi para pembacanya. Dengan menuliskan writing question, penulis dapat melihat:

1. konsep awal cerita

2. kekuatan cerita

3. gambaran cerita

4. selling point tulisan



            Keempat-empat point di atas jelas sangat penting, meskipun ini sangat teoritis dan tidak semua penulis menempuh jalan ini, namun setidaknya dengan melihat kembali apa yang terkandung dan meninjau manfaat adanya writing question ini akan menjadi satu tips tersendiri bagi Anda yang baru mau terjun ke dunia kepenulisan atau para penulis yang sulit produktif karena terkendala sesuatu yang sangat teknis. Nah, inilah salah satu strategi menangani masalah atau kendala teknis tersebut.  Dengan mencari dan kemudian menuliskan writing question terlebih dahulu –yang kemudian nanti akan dikembangkan sebagai sinopsis cerita– akan terlihat keuntungan berikut:



            (1) dapat melihat konsep awal cerita dengan jarak yang sangat dekat: tentu saja ini memudahkan kita untuk melacak hal-hal apa saja yang harus dikuasai, buku-buku bacaan, tulisan yang segenre, atau riset yang diperlukan untuk memperkuat tulisan kita.



            (2) dapat melihat kekuatan sebuah cerita. Dengan adanya writing question kita tidak perlu takut cerita kita tidak bisa berkembang dengan baik di tengah penulisan. Kita telah dapat membaca peta, ke mana dan akan seperti apa tokoh kita nantinya. Nah, dengan mengetahui writing question ini –mohon dicatat –kita akan memiliki ancang-ancang yang jelas untuk menentukan klimaks/turning point dari sebuah cerita. Jika writing question-nya adalah mengapa X selalu Y (contoh: mengapa AZAM selalu SABAR), maka klimaks yang harus kita ekpose dalam tulisan adalah X selalu Y karena Z (missal: AZAM selalu SABAR karena DIA PERCAYA KEKUATAN BERTASBIH).



            Nah, di bagian inilah yang harus dimaksimalkan. Bahwa dengan mengetahui writing question berarti tahu bagian mana yang akan dioptimalkan dalam kepenulisan, demi mengaduk-aduk perasaan pembaca. Sedih. Tertawa. Haru. Riang gembira. Dan sebagainya.



            Saya contohkan saja Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburahman El Shirazy. Meski saya tidak tahu apakah penulis menuliskan writing question terlebih dahulu, namun jika saya memposisikan diri sebagai kreator, saya akan memperoleh kekuatan tulisan pada sisi “perjuangan Azam untuk bersabar ketika cintanya bertepuk sebelah tangan”.



            (3) Gambaran cerita terlihat jelas dari writing question. Dengan demikian kita tidak akan takut cerita kita mengalami overlapping, dengan membaca satu kali saja masalah kepenulisan yang akan disuguhkan kita telah dapat menghindari pelebaran cerita yang cenderung tak terkontrol. Saat menulis halaman pertama tidak akan terasa, namun setelah puluhan halaman ditulis, tokoh dan setting seperti bergerak sendiri, menentang tuannya, menentang si kreator. Nah dengan melihat writing question dan dibantu peta kepenulisan yakni sinopsis, dengan sangat mudah akan terlihat batas-batas masalah yang harus dan tidak boleh ditulis. Cerita kita pun akhirnya tidak melebar ke mana-mana dan fokus pada satu permasalahan utama. 



            (4) Mengetahui selling point tulisan. Dalam pengiriman naskah novel ke penerbit, redaksi akan selalu bertanya selling point dari tulisan yang sedang ditawarkan. Nah kita diuntungkan karena telah menulis writing question sebelum menulis novel. Saat ditanya redaktur soal selling point dan pangsa pasar, well kita tak akan kesulitan menjawab sebab dari membaca writing question yang sudah kita buat semuanya akan sangat terlihat di mana pangsa pasar dan selling point tulisan kita. Apakah tulisan religi, tulisan humor, tulisan perenungan, inspiratif, termasuk lama atau tulisan tema baru, semua akan tampak jelas di sini.                  





SEMPITKAN!!!

Sering kita terjebak bahwa novel merupakan perjalan hidup dari lahir sampai si tokoh mati, sebutlah begitu. Ambillah Laskar Pelangi, Andrea Hirata menyempitkan perjalanan hidupnya dalam sebuah writing question atau masalah, yakni "perjuangan bersekolah dengan segala keterbatasan". Ini sangat berpengaruh terhadap simpulan, atau dalam fiksi yang dikenal dengan istilah amanat. tentu saja, amanat ini sangat penting, mengingat unsur ini juga masuk ke dalam salah satu unsur intrinsik cerita rekaan. Ibarat menentukan titik awal, menentukan masalah merupakan sarana untuk menuju titik akhir, titik Z, sebutlah demikian. Bahwa novel bukan merupakan perjalanan hidup seseorang tokoh fiktif, yang di dalamnya hanya ada berisi biografi catatan perjalanan yang tidak difokuskan pada satu permasalahan; novel merupakan satu premis cerita yang dikembangkan menjadi kompleksitas penyampaian.



            Di atas telah saya contohkan dua kasus kepenulisan, yang satu kisah seorang sahabat yang telah 20 tahun bersahabat dengan saya, yang kedua kisah asmara satu windu. Pertanyaan menggelitiknya: apa yang menarik dari kisah sepanjang itu? Nah melalui writing question ini kita bisa menyempitkan kompleksitas yang ada dalam durasi waktu yang lama itu. Misalkan saja, dari tema persahabatan itu saya mengambil writing question begini: kenapa aku dan sahabatku selalu bertengkar soal cewek tomboy? Bagi sahabatku tomboy itu cantik, bagiku cantik itu feminim, pakai rok, tidak suka mengenakan jeans, rambut panjang, dsb. Ini jika dituliskan menjadi premis cerita akan menjadi begini: kisah persahabatan dua orang laki-laki yang sedang berlomba mengejar gadis tomboy (anggaplah pada akhirnya si “aku” ini tertarik tantangan sahabat untuk berebut pacar dengannya, dan gadis tersebut adalah seorang yang tomboy).



            Untuk kasus cinta yang satu windu, silakan untuk latihan Kawan-kawan semuanya saja. silakan coba tentukan writing question apa yang menarik untuk disuguhkan dan dikembangkan menjadi cerita?



            Jika boleh saya menyarankan, laluilah tahapan ini. Bagi saya, menulis fiksi memang harus –sekali lagi saya tegaskan, ini bagi saya– melalui tahapan ini. Namun demikian, tidak semua penulis melakukan tahapan ini. Pada tahapan ini. Menulisan cerita dengan diawali tahap ini.

> perenungan

> pengendapan

> tulis dalam kalimat pendek

> jadikan satu premis cerita



            Writing question  kemudian dilanjutkan dengan:

> kaitkan apa yang akan ditulis

> tulis sinopsis

> menjaga konsistensi

> jadilah novel



Demikian pelajaran menulis yang dapat saya sampaikan, akhirnya dapat saya ambil benang merah dari pelajaran kita pada kesempatan ini, bahwa pada dasarnya semua fenomena yang terjadi di sekitar kita (di dalam diri maupun di luar diri) dapat ditulis menjadi sebuah cerita fiksi yang menarik. Hanya saja, kita perlu membatasi masalah yang akan kita angkat dalam cerita fiksi tersebut. Menemukan, merumuskan, untuk kemudian menuliskan writing question adalah salah satu langkah kepenulisan yang menurut saya patut dicoba diaplikasikan dalam “calon novel” kita.



Salam karya.
Baca Terusannya »»  

Rabu, 04 Januari 2012

Privat Course

Now Open: Online Writing Programme of Indonesian Writers University !!





Verba Volant Scripta Manent - yang diucapkan akan lesap hilang, yang ditulis akan abadi


Mau Belajar Nulis? Mau terkenal seperti J.K. Rowling atau Andrea Hirata? Tapi terkendala waktu untuk belajar? 

Ikut saja program pelatihan nulis dari Indonesian Writers University via online


1. Tidak perlu hadir di kelas
2. Dapat diakses dari mana saja
3. Tanpa meninggalkan rutinitas lain
4. Diajar langsung oleh pengajar dengan basic ilmu sastra, juga menekuni dunia tulis menulis sudah puluhan tahun


Dapatkan keuntungan lain, seperti:
1. Jadwal belajar sangat fleksibel, disesuaikan dengan kesibukan mahasiswa
2. Ada garansi uang kembali 
3. Tidak ada ujian formal, mahasiswa dinyatakan lulus bila telah memiliki satu buku, minimal buku antologi
4. Alumni akan mendapatkan sertifikat resmi dari Indonesian Writers University
5. Ruang konsultasi yang sangat luas melalui email, chating, forum, milis, juga member area khusus
6. Ada layanan seumur hidup, dimana mahasiwa dapat berkonsultasi kepenulisan juga menjalin link dengan penulis senior
7. Ada tawaran menarik bila berhasil mengajak teman untuk bergabung bersama Indonesian Writers University


Hubungi:
Sekretariat  "Anak Negeri"
Griya Satria Indah Blok L No 22
Purwokerto Utara
Jawa Tengah 53125
email : iwu.berkarya@yahoo.com
sms center: 083878020008
Baca Terusannya »»  

Manusia Setengah Hari


 
 Oleh: Runy Ginevla
 
 Manusia setengah hari, itulah sebutan yang di berikan orang – orang kepadaku. Aku senang menerimanya. Ya, memang seperti inilah aku. Manusia yang hanya hidup setengah hari. Maksudku, setengah hari hidup sebagai laki – laki. Dan setengah hari lagi sebagai perempuan. Siang hari aku bekerja sebagai seorang lelaki tulen, dan malam hari aku bekerja sebagai wanita tulen. Aku sangat benci jika orang – orang menyebutku ‘banci’. Karena sebutan itu hanya untuk pecundang.
 
 Oke, perkenalkan namaku. Namaku kalau siang Anton, kalau malam Anti. Tetapi nama asliku Slamet. (*maaf bila ada kesamaan nama). Pagi sampai siang hari aku bekerja sebagai penjaja koran di kios milik temanku dan di selingi dengan mengamen. Dan di malam hari aku bekerja sebagai wanita penghibur di sebuah klub malam. Pekerjaan ini kulakukan dengan tidak ikhlas memang. Karena kebutuhan hidup yang memaksaku untuk mengais – ngais harta di tumpukan sampah sekalipun.
 
                 Terkadang ketika aku sedang bekerja sebagai ‘wanita penghibur’, aku kerap mendapatkan pelecehan. Tentu saja dari lelaki – lelaki keparat itu. Jijik aku kepada mereka. Begini – begini juga aku masih normal. Meski aku bekerja untuk melayani mereka, tetapi aku tak pernah mau di ajak mereka tidur. Aku cuma menemani mereka untuk minum. Aku senang, karena minuman beralkohol itu bisa membuatku tenang. Setidaknya untuk sesaat aku terbebas dari himpitan ekonomi.
 
                 Aku mengerjakan semua pekerjaan ini hanya untuk kekasihku. Aku bermaksud meminangnya. Tetapi orangtuanya tidak setuju jika anaknya bersanding denganku. Dikarenakan aku miskin dan pengangguran. Aku tak tahu lagi mesti bekerja sebagai apa di kota perantauanku ini. Dengan berbekal ijazah SMPku, rasanya tak mungkin jika aku di terima bekerja di gedung – gedung mewah itu. Aku berharap, kekasihku itu tak melihatku bekerja seperti ini. Aku berjanji, setelah uang tabunganku cukup, aku akan membangun usaha sendiri. Mungkin restoran.
 
                 Pernah aku mendengar kabar bahwa kekasihku itu akan di jodohkan dengan anak dari sahabat orangtuanya yang merantau ke Jakarta. Aku berusaha untuk mencari informasi mengenai lelaki pilihan orangtua kekasihku. Setalah dapat, aku minta di pertemukan dengannya. Dan setelah kami bertemu, aku dengan sadis membunuhnya dengan mencekiknya lalu setelah itu ku cabik – cabik wajahnya dengan pisau. Aku tak kan rela melihat dia duduk dengan kekasihku di pelaminan.
 
                 Aku memang punya sifat aneh yang di sebut psikopat. Tak dapat di hitung dengan jari jumlah orang yang sudah kubunuh. Aku lebih suka membunuh mereka dengan mencekik leher mereka. Karena dengan begitu mereka akan merasakan sakitnya tak bisa bernafas. Sakitnya ketika seluruh otot mereka mengejang. Sakitnya ketika malaikat maut menarik nyawa mereka perlahan – lahan. Dan setelah itu, aku potong – potong bagian tubuh mereka. Lebih seringnya sih tangan. Lalu ku kuburkan mereka di belakang kostanku. Tak ada yang tahu hal itu. Terkadang aku juga menyimpan beberapa potongan dari tubuh korbanku. Mungkin saja aku membutuhkannya untuk memngisi perutku ketika dompetku sedang kosong. Tak kalah enak rasanya dengan daging ayam.
 
                 Banyak suka duka yang ku kecup dari pekerjaanku sebagai ‘wanita penghibur’ ini. Dukanya tentu saja pelecehan – pelecehan yang ku dapat dari ‘bangsat – bangsat’ itu (*upss). Dan sukanya, aku bisa melampiaskan kekesalanku kepada mereka yang kerap mengajakku untuk ‘bermain’ bersama. Aku suka melihat mulut mereka mengeluarkan busa setelah meminum ramuanku. Aku senang melihat wajah putih pucat tak bernyawa mereka. Haha… mereka pantas mendapatkannya.
 
                 Ketika aku bekerja sebagai ‘wanita penghibur’, aku selalu membawa ramuanku. Karena tak mungkin kan aku membunuh mereka dengan pisau di depan umum. Meskipun pisau selalu ada di dalam tasku. Bagiku, manusia – manusia seperti itu patut di binasakan dari muka bumi ini. Aku hidup di dunia, tak ada yang peduli. Sahabatkupun cuma satu. Tengku namanya. Dia sangat baik kepadaku. Sering memberikanku pinjaman uang dan terkadang mengajakku makan – makan.
 
    “Ti, lo temenin gue malam ini ya. Gue mau curhat nih sama elo.”
    “Curhat apaan, Ku ?”
    “Adalah. Pokoknya malam ini gue mau minum ampe butung. Gue baru aja di putus pacar gue.”
    “Syukur deh. Tuh cewek kan emang nggak pantes buat lo. Mending ama Mince tuh. Haha..”
    “Ah… Mince mah stok lama. Haha…”
 
                 Sering aku mendengar dari teman – temanku kalau Tengku itu ‘gay’. Tapi aku tak percaya. Aku kenal baik dengannya. Tak mungkin Tengku yang playboy itu ‘gay’. Lagipula, aku tak pernah melihatnya membaca majalah cowok atau bermesran dengan cowok.
 
                 Malam itu, ku temani Tengku bersenang – senang di klub tempatku bekerja. Malam ini malam minggu. Pantaslah jika klub penuh banget. Tapi malam ini, aku prioritaskan untuk menemani sahabatku, Tengku. Kami mengikuti musik yang di mainkan oleh DJ. Lampu kerlap – kerlip menyilaukan mata kami. Dengan penerangan yang remang – remang, aku masih bisa melihat segerombolan besar manusia menari – nari di bagian tengah ruangan klub ini yang memang di siapkan untuk tempat menari. Beberapa pria duduk di sofa yang ada di sudut ruangan sambil bercumbu dengan 2 – 5 orang wanita. Benar – benar memuakkan.
 
    “Anti, lo tahu nggak sih ? gue tuh sayaaaang banget sama elo.”ujar Tengku tiba – tiba dengan mulut berbau alkohol.
 
 Mungkin sekarang dia benar – benar mabuk. Ku tahan badannya yang agak limbung agar tidak terjatuh. Dengan botol wine di tangan kanannya, dia berusaha memelukku. Awalnya aku biasa aja. Karena aku tahu, Tengku sedang bersedih saat ini. Tapi lama kelamaan, Tengku mulai menggerayangi tubuhku. Dia kecup lenganku. Ihh… aku semakin risih saja. Berkali – kali ku coba menjauhkan tubuhnya dari tubuhku. Tapi dia malah memberontak. Sampai – sampai ku tampar wajahnya untuk menyadarkannya. Tapi dia malah semakin brutal.
 
 Akhirnya, dengan berat hati ku keluarkan pisau dari dalam tas yang ku geletakkan di sampingku dan ku arahkan ke arahnya. Dia kaget, dan mundur menjauhiku. Semua orang menoleh ke arahku. Beberapa bodyguard mulai menyergapku. Tapi mereka kalah, karena aku memutar – mutar pisauku ke arah mereka hingga menyobek perut mereka. Hening semuanya. Tampak wajah – wajah ketakutan menatapku. Setelah ini aku berencana untuk lari secepat – cepatnya meninggalkan tempat itu.
 Dengan nafas terengah – engah, aku bangkit dari dudukku dan bersiap – siap untuk mengambil langkah seribu. Beberapa saat hening, kemudian ketika tepat langkahku di mulai untuk meninggalkan tempat terkutuk itu, Tengku menarik tanganku dan menarikku ke dalam pelukannya. Aku sudah tak tahan lagi. Ku tusuk dadanya dengan pisauku. Tepat di jantungnya. Sekarang tak ada lagi yang berani kepadaku. Mereka semua mundur menjauhiku. Setelah ku lihat wajah Tengku yang mulai memucat, dan darah segar mengucur dari dadanya. Aku menangis.
 
    “Tengku, maafin aku.”ratapku sambil memeluk tubuh lemahnya. Dia tersenyum menatapku. Meski dengan raut muka kesakitan. Dengan mata yang hamper terpejam, dia kecup keningku. Ihh… rasa jijik kembali menggerayangiku.
 
                 Beberapa orang mulai berlari ke arahku dengan senjata masing – masing. Mereka menggunakan kesempatan ketika aku sedang lengah ini. Tapi aku tak kurang akal, segera ku raih botol wine yang ada di atas meja. Lalu ku arahkan ke mereka. Botol itupun pecah membentur lantai. Lalu ku ambil korek gas di atas meja, menyalakan apinya, lalu ku lempar korek itu ke arah lantai yang basah oleh wine itu.
 
    “Letakkan sejata kalian !!”teriakku kepada semua orang. Semua menurut, lalu ku raih dua buah pistol yang di serahkan oleh bodyguard di klub itu. Ku tembakkan pelurunya ke arah rak – rak minuman beralkohol yang terletak di samping tempatku duduk. Tak lama, klubpun meledak. Aku beruntung, masih sempat melarikan diri. Dari luar, aku melihat manusia – manusia malang terbakar di dalam klub itu. Beberapa mobil polisi dan mobil pemadam kebarakaran tiba beberapa menit setelah aku berhasil kabur dari tempat itu.
 
                 Aku berlari sambil tertawa terbahak – bahak dan menembakkan pistolku ke semua orang yang melihatku. Mereka semua terkapar tak berdaya. Tapi di tengah jalan, ada beberapa orang anggota polisi yang mencegatku. Ku arahkan pistolku ke arah mereka. Tapi ternyata mereka punya lebih banyak pistol daripada aku. Aku menyerah. Ku angkat tanganku ke atas. Dan mereka mulai memborgol pergelangan tanganku. Sambil di seret – seret menuju ke mobil polisi, aku berucap pada dunia.
 
    “Tunggu aku ! Aku akan menghancurkan kalian semua ! tak akan ku biarkan kalian hidup ! haha…”
 …………………
    “Hahaha…. Kalian akan ku hancurkan ! akan ku cabik – cabik tubuh kalian ! hahaha….”tawa histeris Slamet alias Anto alias Anti itu membahana di seluruh koridor rumah sakit jiwa itu. Tampak kakinya di rantai ke kaki tempat tidurnya. Beberapa orang perawat berusaha menyuntikkan obat penenang kepadanya.
 
                 Di koridor rumah sakit itu, tampak seorang gadis berusia sekitar 25 tahun berjalan tergesa – gesa.
 
    “Dok, di mana tempat Slamet di rawat ?”Tanya gadis itu kepada seorang dokter yang terlihat terengah – engah karena mengikuti langkah sang gadis yang terburu – buru.
 
    “Tidak usah terburu – buru, mbak. Ini kita sudah sampai. Silahkan masuk.”ujar dokter itu mempersilahkan gadis itu untuk masuk ke ruangan berukuran kecil. Dengan tubuh bergetar, gadis itupun memasuki kamar itu. Sesampainya di dalam kamar itu, dia jatuh terduduk di lantai. Tak kuat lagi menyangga tubuhnya yang lemas. Miris dia melihat kekasihnya yang di rantai.
 
    “Slamet… slamet… sla… slamet ??”ujar gadis itu parau. Lelaki dengan rambut acak – acakan itupun menoleh. Bebarapa saat diam terpaku memandangi sosok gadis di hadapannya itu.
 
    “Eh… Diah ? Di… ah ? Diah ??”ujar lelaki itu
 
    “Iya, ini aku Diah. Kamu kenapa seperti ini, Met ?”
 
    “Diah ?”dengan langkah terseok – seok, di hampirinya gadis itu. Di pegangnya kedua pipi gadis itu. Setelah menyadari kenyataan bahwa kekasihnya datang menemuinya, Slametpun menangis.
 
    “Aku menunggu kamu di kampung. Aku percaya kamu bakal sukses di Jakarta. Tapi kenapa kamu… kenapa kamu… hiks”tak kuat lagi gadis itu menahan rasa kecewaannya. Di tatapnya wajah sang kekasih. Banyak perubahan yang terjadi di wajah yang sangat dirindukannya itu. Sorot matanya sayu. Wajahnya penuh baret luka. Urat – urat di wajahnya menonjol. Sangat mengerikan.
 
    “Aku memang sudah sukses, sayang. Lihatlah ! aku hebat kan sekarang ? kamu tahu ? aku sudah membunuh banyak orang. Aku makan daging mereka dan ku kubur mereka di belakang rumahku ! haha… aku hebat kan ? kau harus bangga padaku !”
 
 Tak ada lagi yang dapat di katakan gadis itu. Lelaki yang di pujanya, yang di nantikan kehadirannya, yang di pertahankannya, sekarang telah menjelma menjadi iblis yang menjijikkan.
Baca Terusannya »»